Ulasan Film "Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas"

22 March 2022   |   12:56 WIB
Image
Dave Senju Penulis lepas yang menulis secara rutin dalam diri dan kepalanya

Like
Film yang diangkat dari sebuah novel karya Eka Kurniawan dengan dibungkus dalam balutan apik kamera 16mm seluloid mampu menyita perhatian dunia. Rilis di Bioskop pada 2 Desember 2021 setelah mengelilingi dunia akhirnya hadir di Indonesia. Beberapa festival dan kompetisi film internasional telah dimenangkan oleh film karya Edwin ini. Film ini mengambil latar waktu 1980-an akhir, mengangkat isu yang sangat jarang dibahas membuat film ini secara keseluruhan memiliki personalitasnya sendiri.

Film ini memiliki warna tersendiri dan orisinil ditengah-tengah industri film Indonesia yang selalu terkekang dengan genre cinta atau horror. Film ini juga menjadi film kelima Edwin di belantara industri perfilman Indonesia dan membuahkan prestasi yang mengharumkan nama bangsa di Locarno Film Festival 2021 sebagai film terbaik dengan penghargaan tertinggi yaitu Golden Leopard.
 

Cerita yang solid dari novel mampu diringkas tanpa membuat lubang plot dalam film ini. Secara keseluruhan cerita dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bisa dibilang merupakan kisah epik yang vulgar. Walau tidak sepenuhnya mengambil refrensi dari novelnya adaptasi ini mampu menghadirkan kesolidan dari novel dengan wajah film yang khas. Setiap alur yang dikisahkan terkesan mengalir dan tidak dipaksa, walau ada beberapa alur maju mundur film ini tetap bisa dinikmati tanpa kebingungan.

Ngaceng dan berkelahi adalah elemen yang kental dalam film ini, sepanjang film kita dibawa untuk memahami Ajo Kawir yaitu jagoan Bojongsoang yang impoten. Problema hadir untuk menegaskan kejantanan si Ajo, walau dia petarung handal kekurangan miliknya hanya tidak bisa ngaceng sehingga hal tersebut membuat dirinya minder. Hal ini menegaskan bahwa di Indonesia kejantanan dilihat dari sebagaimana ia jago di kamar maupun berkelahi. Ajo Kawir sebenarnya merupakan korban dari Toxic Massculinity dan ia menutupinya dengan cara beringas dan berkelahi. Premis yang unik ini menghadirkan kesegaran baru dalam perfilman aksi di  Indonesia, karena kebanyakan film aksi di Indonesia tidak jauh dari tema polisi dan penjahat atau orang baik dan orang jahat.
 

 

Pertemuan Ajo dengan kekasih hatinya Iteung (Sumber: pojokbebas.com)

Pertemuan Ajo dengan kekasih hatinya Iteung (Sumber: pojokbebas.com)


Penokohan yang sangat otentik terutama dalam gaya bicara dan berpakaian menciptakan kesan nostalgia pada era 80-an. Seakan kita dibawa kembali ke era film pada pemerintahan Orde Baru yang terkesan kaku dalam pembawaan. Namun kaku pada film ini menjadi nilai penunjang untuk film yang berlatar waktu akhir 80-an ini. Toxic masculinity kental terasa pada setiap peran dan tokoh, bukan hanya karakter lelaki nya bahkan karakter perempuan disini berperan untuk memperkuat betapa buruknya stereotipe kejantanan pada masa itu.

Namun Iteung yang diperankan Ladya Cheryl membawa kesan wanita kuat yang tidak hanya mampu menjadi wanita lantang namun juga pintar berkelahi. Marthino Lio sukses memerankan karakter Ajo Kawir yang badass namun sebenarnya rapuh. Bisa dibilang kekakuan serta penokohan yang bagus pada film ini adalah kesan yang membekas oleh kita untuk film layar lebar era Orde Baru. Kekurangan penokohan di film ini hanya sebatas pada Reza Rahardian yang terasa kurang berusaha beradaptasi dari segi pelantunan dan dialek sehingga kurang menjiwai peran Budi Baik.

Pengambilan gambar dengan kamera 16mm seluloid berhasil mengembalikan rasa nostalgia pada film-film Indonesia di tahun 70 sampai 80-an. Tampilan scene dikemas apik dalam proporsi yang pas dan menunjang ekspresi para pemainnya. Racikan antara khasnya kamera 16mm seluloid dengan tampilan yang bagus membuat kita betah menonton tanpa membandingkan penggunaan kamera digital atau analog. Keseluruhan sinematografi dalam film ini sangat khas dan indah.

Kemudian untuk latar suara pada film ini sangat bagus terutama pada adegan perkelahian atau balap truk. Komposisi nada yang dicipta oleh Dave Lumenta berhasil menambah suasana disetiap scene. Untuk soundtrack nya sendiri sangat menggambarkan Ajo dan burungnya, Bangun Bajingan adalah ringkasan film yang enak untuk menemani malam kita. Lirik yang disusun oleh Ananda Badudu terkesan sangat dalam, ditambah lantunan komposisi instrumen yang di racik oleh Dave Lumenta menambah kesan mewah namun tetap kelam.

Secara keseluruhan Edwin berhasil menghasilkan film yang pas disetiap lini sehingga terasa begitu nikmat. Penetuan gaya bahasa serta pengambilan gambar dengan kamera analog sangat tepat sehingga film ini terasa begitu nostalgik dan unik. Untuk nilai sendiri penulis memberi 9/10 untuk film ini. Poin utamanya adalah pengalaman baru dalam menonton film aksi yang tak sebatas aksi namun juga pengisahan cerita yang kuat serta solid.