Review Film The Death On The Nile (2022): Apa Yang Sulit Ditebak Adalah Jalan Pikiran Wanita

27 March 2022   |   23:56 WIB
Image
Andre Zalukhu Penulis yang gemar menulis musik dan film. Berdomilisi di Medan.

Like
Saya sempat kesulitan menentukan film apa yang menarik untuk ditonton pada 14 Februari 2022 kemarin.

Momen 'valentine' yang membius anak muda -termasuk saya- membuat saya agaknya berhati-hati memilih genre film bersama gebetan. Ada kriteria tersendiri yang menjadi pertimbangan agar doi tidak salah ekspetasi di pertemuan pertama kami. Ya, kami sebelumnya hanya kenal via virtual.  

Mengingat dia menyerahkan semuanya ke saya, maka saya melakukan riset kecil-kecilan. Saat itu ada beberapa film yang masih bertengger di bioskop, beberapa bergenre horor, ada komedi, ada thriller bahkan ada film animasi musikal. Saya dibuat pusing menebak seleranya. Sudah saya yang pilih filmnya, eh saya juga yang bayarin. Uh. 

Sampai akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada film The Death On The Nile. Mengetahui film ini adalah adaptasi novel detektif karya Agatha Christie yang merupakan best seller global sudah cukup menjanjikan. Apalagi ada unsur misteri yang tersemat pada genrenya.  

Dengan adanya unsur misteri dalam sebuah film, maka secara tidak langsung menciptakan 'puzzle' yang bisa memaksa penonton saling berinteraksi. Salah satu modal penting untuk saya yang sedang PDKT

Meskipun sebagai awam, jujur saya tidak pernah tahu siapa itu Detektif Hercule Poirot yang adalah tokoh utama di film ini. Saya bahkan tidak tau kalau ini adalah sekuel dari film pertamanya, The Murder On Orient Express (2017). 

Jadi kami menontonnya dalam kondisi kosong, tanpa tau apa yang terjadi sebelumnya. Namun selama 127 menit saya bisa bilang film ini benar-benar memuaskan ekspetasi. 

Kenapa demikian? 

Singkatnya film ini menceritakan tentang Detektif Hercule Poirot yang diminta ke Mesir untuk memecahkan sebuah kasus. Awalnya dia hanya ingin berlibur. Namun secara kebetulan bertemu Bouc, teman dekatnya. Keterlibatan Detektif Poirot semakin jauh kala diundang Bouc untuk menghadiri pernikahan Simon dan Linnet. Pasangan itu kemudian meminta Detektif Poirot melindungi mereka dari Jacqueline yang adalah mantan tunangan Simon. Jacqueline menganggap Linnet telah menikungnya dan gerak-geriknya seakan ingin membalas dendam.

Bukannya mengikuti saran Detektif Poirot untuk pergi sejauh mungkin, pasangan Simon dan Linnet justru mengadakan liburan berlayar dengan kapal pesiar mewah SS Karnak, melintasi sungai Nil bersama beberapa orang, bahkan lucunya ikut mengundang Jacqueline yang awalnya dianggap sebagai ancaman. Pembunuhan pun mulai ditemukan di hari kedua pelayaran. Dan korban pertama tak lain adalah Linnet, istri Simon sendiri. Di situlah Detektif Poirot melakukan penyelidikan. 

Sekilas, alur dan misteri dalam cerita ini sangat menantang. Tidak ada rasa monoton karena setiap dialog dan gestur selalu mendatangkan fakta baru. Sehingga setiap adegan tergolong penting karena saling terkait. Bahkan seharusnya kita sudah bisa menebak siapa pembunuh Linnet jika benar-benar memperhatikan detail ceritanya dari awal. 

Seperti adegan Detektif Poirot bertemu Bouc di Piramida pada awal film. Saya sempat berpikir itu benar-benar kebetulan. Namun di pertengahan film terungkap kalau Detektif Poirot sebenarnya sudah merencanakan pertemuan di Piramida itu karena ibu kandung Bouc, Euphemia Bouc memintanya menyelidiki hubungan Bouc dengan Rosalie, gadis yang Bouc sukai. Euphemia, takut Rosalie hanya ingin harta Bouc bukan Bouc itu sendiri.  

Ya, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Apalagi untuk seorang detektif.

Lalu siapa pembunuh Linnet sebenarnya? 

Wait a minute. Mari kita bahas sinematografinya.

Anda akan dibuat takjub dengan satu fakta bahwa film ini bukan benar-benar dibuat di Mesir meski latar tempatnya adalah Mesir. Film ini banyak mengandalkan CGI. Melihat seluruh detail tempat seperti dermaga, pemandangan sungai, piramida, sampai patung-patung tinggi, tak berlebihan jika disebut visualisasi CGI di film ini merupakan salah satu yang terbaik. 

Selain itu soundtrack atau scoring dalam film ini juga sangat fantastis. Salah satu scoring yang paling saya suka ada di adegan pasca pembunuhan Linnet, kala kapal masih ditunjukkan mengapung melintasi sungai Nil di sore hari yang keemasan. Meski pemandangan di luar tampak hebat, namun suasana kabin terlihat tegang karena penumpang yang ketakutan. 

Suasana itu kemudian diterjemahkan oleh Patrick Doyle dalam scoring musiknya yang epik dengan unsur lokalistik dimana ketika mendengarkannya kita seakan ikut berada di Mesir. Bahkan bagian ini masih terngiang ketika saya keluar dari bioskop. 

Nah, masuk ke suguhan plot twist-nya. 

Spoiler Alert. 

Ternyata Simon adalah pembunuh istrinya sendiri, alih-alih di kapal itu juga ada beberapa kandidat tersangka lain dengan motifnya masing-masing seperti Dokter Ludwig (mantan Linnet), Andrew Katchadourian (Sepupu dan rekan bisnis Linnet) dan juga Jacqueline yang adalah mantan Simon. 

Pembunuhan Linnet memang dilakukan oleh Simon, namun dalang utamanya sebenarnya adalah Jacqueline.

Ya, Jacqueline adalah otak dibalik rencana jahat ini. 

Detektif Poirot menyebut Jacqueline cerdas karena merencanakan ini dari awal dengan hampir sempurna. Jacqueline berharap ketika Linnet wafat, Simon lah yang akan mewarisi kekayaan Linnet, dan Simon akan kembali meminangnya sehingga keduanya bisa hidup bergelimang harta.

Meski kita sama-sama tau tidak ada kejahatan yang sempurna. 

Saya langsung melihat ke samping kursi, menatap wajah gebetan saya ketika adegan Jacqueline tertangkap basah tengah menodongkan pistol ke arah Detektif Poirot. Tenyata banyak hal yang bisa dilakukan seorang wanita untuk mencapai tujuannya. Ia bisa bermain licik dengan jalan pikirannya yang sulit ditebak. 

Apa gebetan saya ini juga merencanakan hal licik untuk ditraktir nonton lagi di minggu-minggu selanjutnya sebelum ia melakukan ghosting ke saya? Ah, saya jadi overthinking. 

Namun, untungnya film ini tidak membuat kita overthinking karena jalan ceritanya yang mudah dipahami meski bergenre misteri. Tidak ada dialog-dialog sulit yang membuat kerutan di dahi. Apalagi meski sekuel, kami tetap bisa menikmatinya tanpa tau kisi-kisi debutnya. 

Cuma satu yang menjadi kekurangan dari film ini menurut saya adalah emosi yang dibangun dari karakter Detektif Poirot ketika sahabatnya Bouc dibunuh tepat di depan matanya. 

Memang sepanjang film, hubungan keduanya ditunjukkan biasa saja, namun bagi yang menonton film sebelumnya yakni The Murder On Orient Express (2017) akan tahu keduanya punya hubungan yang kuat. Jadi sayang sekali, jika Detektif Poirot tidak punya cukup air mata dan emosi ketika menangisi kepergian sahabatnya ini, mengingat Bouc juga adalah karakter penting yang seharusnya membuat penonton sama kehilangannya seperti ketika menyaksikan Peter Parker kehilangan Bibi May dalam film Spiderman: No Way Home (2021).   

Di samping Kennet Branagh (Hercule Poirot), film ini juga bertabur aktor/aktris kawakan Hollywood lain yang menurut saya sudah memerankan perannya dengan sangat baik seperti Gal Gadot (Linnet), Armie Hammer (Simon), Annete Bening (Euphemia Bouc), Russel Brand (Dokter Ludwig) hingga Letitia Wright (Rosalie). 

Dan ada dua pelajaran moral yang saya petik dari film ini.
 
Yang pertama tentang rasa syukur. 

Dimana untuk tidur saja, Linnet yang diperankan Gal Gadot harus meminum obat tidur setiap malamnya karena ia terlalu cemas dengan hartanya yang melimpah dan sulit percaya pada siapapun. 

Jadi, berhentilah iri pada orang lain karena setiap orang punya cobaannya sendiri tanpa kamu harus tau. 

Yang kedua adalah tentang kesetiaan. 

Hubungan Detektif Poirot dengan Katherine, kekasihnya di masa muda digambarkan dengan sangat romantis di awal film. Diceritakan Poirot muda terkena serpihan ranjau sewaktu perang dunia I (satu) yang membuat wajahnya rusak parah, namun Katherine tetap mencintainya dan meminta Poirot menumbuhkan kumis untuk menutupi luka itu.

Cinta akan selalu menemukan jalan. Jadi, jangan pernah menyerah pada pasanganmu, ya!  

Film ini seharusnya tayang di Indonesia pada 20 Desember 2020 kemarin. Namun karena pandemi Covid-19, terjadi penundaan selama kurang lebih 14 bulan. Meskipun saya bersyukur, karena film ini bisa tayang di hari 'Valentine' yang menjadi penyelamat agenda nonton saya dengan gebetan dan benar-benar memenuhi ekspetasi.
 
Usai menonton The Death On The Nile, gebetan saya antar pulang ke kosnya dan dia langsung bilang, "Bang, Minggu depan sudah boleh ngomong ke orang tuaku ya." 

Astaga! Baru juga jumpa. Jalan pikiran wanita memang sulit ditebak.