“The Worst Person In The World” (2021) adalah Buku Harian Terselubung Milik Semua Orang

27 March 2022   |   23:51 WIB

Like
Mari kita mulai dengan membuat pengakuan.
Dalam hidup, kita semua pasti pernah mengalami fase-fase ini: mempertanyakan identitas, membandingkan diri kita dengan orang lain, menghabiskan waktu hanya untuk berkhayal mengenai skenario alternatif terbaik yang mungkin kita alami, membuat kesalahan dan keputusan bodoh… lalu merasa sebagai orang paling buruk sedunia. Sepertinya, refleksi inilah yang coba diajukan oleh Joachim Trier dalam “The Worst Person in The World” (2021).

Adalah Julie, perempuan muda (dalam masa-transisi-20-menuju-30-tahun) yang sedang mencari tujuan hidup melalui perjalanan karir, cinta, dan kompleksitas dirinya sendiri. Digambarkan di awal film bahwa Julie adalah mahasiswi kedokteran yang merasa bahwa ia “salah” menjalani pilihan karir. Merasa bahwa kedokteran bukan passion-nya, Julie kemudian menekuni psikologi. Lalu, fotografi. Lalu, mencoba menjadi penulis. Kelabilannya dalam menentukan apa yang ia tekuni tak ayal membuatnya merasa tersesat dan terjebak dalam krisis identitas. Meskipun demikian, Julie tetap mencoba berbagai hal baru dalam hidupnya-–berharap suatu saat ia akan mendapatkan pencerahan akan jati diri yang sebenarnya.

Menariknya, sementara Julie mengganti pilihan karir, begitu pula perjalanan cintanya terevaluasi dan berubah: putus dengan pacarnya semasa kuliah kedokteran, kencan dengan salah satu profesornya, berhubungan dengan seorang model, sampai berpacaran dengan seorang seniman komik terkenal—Aksel, yang kemudian akan turut banyak tersorot dalam pengembangan diri Julie.
 

Julie dan Aksel (Sumber Gambar: IMDb Photo Gallery)

Julie dan Aksel (Sumber Gambar: IMDb Photo Gallery)


Petualangan “What If?” yang Tidak Berkesudahan
Semuanya bermula dari pertanyaan, What If: Apa yang terjadi jika jalan ini yang diambil? How wrong can it go? Julie dan sifat impulsifnya terlihat (hanya) seperti katak yang melompat-lompat dari satu teratai ke teratai lainnya. Ia mengganti jurusan perkuliahan, keluar dari sana dan menjadi pekerja lepas. Begitu pula dengan urusan cintanya yang berganti seiring dengan bagaimana ketertarikan hidupnya berubah. Hal ini terlihat dari pertemuan pertamanya dengan Aksel yang kemudian dengan cepat membuatnya merasakan koneksi yang dalam dan mempertanyakan hubungan yang sebelumnya ia jalani.

Julie dan Aksel terpaut jarak usia yang cukup jauh, yakni lima belas tahun. Jelas mereka berada dalam dua titik berbeda dalam hidupnya masing-masing. Meskipun demikian, keduanya merasa cocok dan setuju untuk berkomitmen. Seiring dengan berjalannya waktu, Aksel menginginkan hubungan yang lebih serius dengan memiliki anak, sementara Julie merasa bahwa ia belum siap. Ada banyak hal yang ingin dia lakukan terlebih dahulu: menjelajahi kebebasan dan, sekali lagi, menemukan dirinya sendiri. Terlebih, selanjutnya terungkap pula bahwa “keluarga” bukanlah topik favorit dalam hidup Julie. Kedua orang tuanya berpisah dan ada jurang komunikasi yang lebar antara ia dengan ayahnya. Hal ini semakin memperkuat alasan mengapa Julie gelisah ketika dihadapkan dengan pilihan untuk membangun keluarga dan lebih merasa nyaman dengan konsep kebebasan individu.

Ketika hubungan keduanya mulai membaik dan serius, begitu pula dengan karir penulisan yang baru saja dibangun, Julie bertemu dengan Eivind. Pertemuannya dengan Eivind sangat tidak terduga. Semuanya berawal dari impulsivitas Julie melenggang masuk ke resepsi pernikahan orang yang tidak ia kenal. Di sana, mereka bertukar cerita dan menghabiskan malam bersama: merasa penasaran satu sama lain, berbagi keintiman, namun saling memberikan kejelasan bahwa mereka “tidak melewati batas untuk berselingkuh”. Tentu terlihat dengan jelas bahwa Julie merasakan koneksi yang berbeda dengan Eivind-–seolah Eivind menjadi jawaban atas ketidakcocokan yang dialaminya dengan Aksel belakangan. Meskipun demikian, setelah pesta malam itu, keduanya lalu berpisah dan tidak berencana untuk bertemu kembali.
 

Julie dan Eivind (Sumber Gambar: IMDb Photo Gallery)

Julie dan Eivind (Sumber Gambar: IMDb Photo Gallery)



Namun, film ini tentu tidak cukup menggoda hanya sampai di situ. Julie kembali tidak sengaja bertemu Eivind, yang datang bersama pacarnya (Sunniva), di toko buku tempat Julie bekerja. Julie dan Eivind bertukar sapa, mengakui bahwa mereka “memikirkan satu sama lain”, dan mempertanyakan kebahagiaan dalam hubungan mereka masing-masing. Kemudian, pertanyaan jebakan itu kembali menghampiri Julie: bagaimana jika… ia mencoba memulai hidupnya dengan Eivind?

Refleksi Diri dalam Kekuatan Dialog dan Imajinasi
Salah satu hal yang paling menarik dari film ini adalah bagaimana adegan-adegan simbolis disusun sedemikian rupa menarik. Pertanyaan di atas secara cerdas dijawab oleh Trier melalui penggambaran imajinasi Julie. Oslo dan kegiatannya digambarkan membeku dan berhenti seketika, sementara hanya Julie yang berlari dengan bebas untuk menemui Eivind. Keduanya bertemu dan menghabiskan waktu bersama ketika seluruh orang membeku. Betul-betul penggambaran sesungguhnya dari “dunia hanya milik berdua”. Lalu begitulah, Julie kemudian kembali ke dunia nyata, dan menyatakan keputusannya kepada Aksel.
 

Julie dalam Imajinasi Psikedelik (Sumber Gambar: NEON)

Julie dalam Imajinasi Psikedelik (Sumber Gambar: NEON)



Ada pula imajinasi psikedelik yang dialami Julie selepas memakan magic mushroom. Trauma dan kegelisahannya terhadap konsep keluarga tergambar dengan jelas ketika ia membayangkan dirinya menjadi seorang ibu tua yang telanjang dengan bayi di dadanya. Ia lalu dihadapkan dengan ayahnya yang duduk dengan marah sambil melempar tampon penuh darah.

Tidak hanya penyajian imajinasi, film ini juga ditumpu oleh dialog-dialog polos yang kuat. Joachim Trier dan Eskil Vogt tidak mempersembahkan dialog yang uh-wow-ngena-banget, tapi percakapan sederhana yang jujur (dan mungkin kita temui sehari-hari). Misalnya, ketika Julie mengatakan bahwa ia “merasa hanya seperti penonton dalam hidupnya sendiri” atau ketika ia (banyak sekali) berkata, “aku tidak tahu” untuk memperjelas krisis identitas yang ia alami.
 

Julie dan Aksel (Sumber Gambar: NEON)

Julie dan Aksel (Sumber Gambar: NEON)


Yang paling menarik adalah dialog intim antara Aksel dan Julie ketika film mulai menuju penyelesaiannya. Di masa ketika keduanya telah berpisah dan mulai menjadi orang asing, mereka menjadi terbuka untuk bercerita satu sama lain: Julie dan pertemuannya dengan Eivind, serta Aksel dan kondisi medis yang sedang ia hadapi. Julie lalu mengungkapkan kegelisahannya karena ia hamil. Dalam semua kemelut itu, Aksel mengatakan bahwa Julie “akan menjadi ibu yang baik”. Hal ini menarik karena sebelumnya Aksel pernah mengatakan hal yang sama di awal film, ketika mereka masih bersama dan Aksel membujuk Julie untuk mau memiliki anak. Dua karakter ini mendapatkan hal yang paling tidak diinginkan, namun terlihat telah masuk dalam fase pendewasaannya. Adegan ini juga memperjelas bahwa dunia memang terkadang berjalan tidak sesuai kemauan mereka—dan pada kenyataannya, semua tetap baik-baik saja.

Film “The Worst Person in The World” disajikan melalui 12 bab (ditambah dengan prolog dan epilog) yang disampaikan melalui narasi atas keadaan dan pilihan hidup Julie. Mengapa narasi ini menjadi krusial? Karena pilihan dan tindakan Julie yang terlihat menyebalkan menjadi dapat dimengerti dan, lucunya, terasa relatable dengan kehidupan kita sendiri.

Hal ini penting mengingat bahwa tujuan film ini memang bukan untuk menghakimi atau menjustifikasi pilihan-pilihan hidup Julie (dan orang-orang di sekitarnya), namun secara gamblang memberikan refleksi manusiawi. 

Kesimpulan: “The Worst Person in The World” Sesungguhnya adalah Buku Harian Semua Orang
Dalam sekilas lihat, kita mungkin bisa mengatakan bahwa tiap keputusan yang Julie ambil adalah sebuah kesalahan. Julie seolah terjebak dalam lingkaran sebab-akibat atas tindakannya yang impulsif, tidak masuk akal, juga tidak sabar. Hidupnya berantakan… tapi hidup mana yang tidak berantakan? Di tengah dunia yang memaksa manusia untuk menunjukkan karakter yang solid, Trier mengajak penonton untuk melihat ke dalam dirinya masing-masing: untuk melihat bahwa kita semua adalah kumpulan pengalaman dan keputusan yang kacau dan tak beraturan.

Julie adalah sisi dari diri kita yang membuat kesalahan terus menerus dan tidak belajar atas masa lalu. Walau secara paradoks, Julie juga adalah sisi kita yang memilih untuk berani mendobrak dan menjawab pertanyaan “What If?” atas semua skenario yang diajukan dalam hidup. Jika bukan kesalahan, Julie sesungguhnya adalah buku harian atas perasaan-perasaan yang hanya bisa kita tulis, tanpa pernah berani dimanifestasikan menjadi tindakan.

Manusia tidak akan pernah terpisah dari kebodohan dan kesalahan dalam hidupnya. Tapi, apakah seluruh kekacauan yang kita tanggung sepadan dengan hasil perjalanannya? Mungkin senyum Julie di epilog film telah menjawab pertanyaan tersebut.

Terkadang, memang kita harus menjadi orang paling buruk untuk bisa mencapai versi terbaik diri kita sendiri.
 

Julie dalam

Julie dalam "The Worst Person in The World" (Sumber Gambar: IMDb Photo Gallery)