Review Film Turning Red : Membongkar stereotip orang tua Asia

27 March 2022   |   23:26 WIB

Like
“Aku ingin cepat dewasa, mendapat pekerjaan dan menjadi bersinar dalam segala hal” Hal itu adalah pemikiran banyak anak remaja, mereka ingin segera mendapat pekerjaan dan hidup dengan independen ya memang hal itu ialah keinginan yang banyak tertahan di kalangan anak remaja, terlebih sesuai dengan kultur orang tua Asia dimana sedewasa apapun seorang anak tetaplah anak kecil di mata orang tua. Ya itu lah hal yang terjadi pada Mei dalam film Turning Red ini,  Ia adalah anak yang selalu ingin terlihat menonjol dan pandai dalam segala hal serta dapat melakukan hal hal yang dilakukan oleh orang dewasa. Secara karakter, Meilin Lee adalah gambaran banyak remaja puber pada umumnya dimana mereka tidak ingin hidup dibawah tekanan orang tua, namun ia tetaplah anak anak dimana ia harus patuh kepada orang tua-nya sampai kapanpun itu. Kultur parenting ala Asia memang dinampakkan membuat penonton relate dengan kondisi Mei yang harus “bermuka dua” disaat menjadi diri sendiri dan disaat bersama dengan orang tua nya, bahkan keputusan Mei adalah buah keputusan dari orang tua nya juga namun dibelakang, ia juga memiliki keinginan dengan jalannya sendiri.

Dilema Mei sangat besar, di satu sisi ia memiliki kesukaan pada suatu hal yang bersebrangan dengan orang tua nya. Konsep menjadi diri sendiri akan terasa penuh perhitungan karena beberapa faktor seperti pengaruh keluarga yang besar, dimana Anak dalam hal ini ialah Mei dipaksa menjadi cetakan orang tua nya, tapi sutradara sangat cermat dalam membuat penontonnya ragu, hal itu ialah karena Ibu Mei (Ming) adalah orang yang sangat care dan sayang terhadap anaknya namun dengan pendekatan yang mungkin tak sesuai dengan kemauan Mei.

Dalam film ini kita belajar mengenai pengendalian diri khususnya dalam menghandle emosi, diceritakan Mei akan menjadi monster panda bulu merah jika ia merasa emosi dan akan kembali menjadi manusia setelah merasa tenang. Sebetulnya hal itu merupakan metafora dari menstruasi yang dirasakan oleh Mei dan seluruh wanita di dunia, sebuah keadaan dimana hal kecil akan berdampak besar bagi emosi dan kondisi pikirannya, itulah mengapa Mei digambarkan akan menjadi seekor panda merah raksasa yang emosi jika ia merasa excited. bagi saya ini adalah hal yang menarik karena mereka menggunakan pembelajaran tentang pengendalian emosi dengan pendekatan yang cerdas, selain itu ditampilkan pula bahwa sebenarnya Ming juga sama seperti Mei ketika usia remaja, rebel dan tak mau di atur, namun selayaknya anak jika bertindak terlalu jauh maka akan timbul penyesalan dalam diri mereka.

Yang unik dari film ini, sutradara mengemas konflik antara Mei dan Ibu nya (Ming) dengan netral, sehingga penonton akan punya beragam sudut pandang. Penonton akan dibawa pada dua perspektif yang berimbang sehingga bukan hal mudah untuk penonton memilih pada kubu mana mereka berada, dan menentukan mana yang baik dan salah.

Secara semiotika, banyak digambarkan doktrinasi parenting gaya asia, seperti poster di kamar Mei yang berisikan tulisan “Study, work, listen” yang cukup menggambarkan bagaimana tekanan dan harapan yang besar dari orang tua nya kepada Mei. Saya juga sangat merasa relate dengan tindakan Ming ketika dikecewakan oleh Mei, sebagaimana seorang Ibu di seluruh dunia, mereka akan marah besar jika anaknya bertindak tidak seperti yang mereka mau. Namun dari film ini kita juga belajar tentang komunikasi yang baik ialah Problem Solving, jika kita lihat anak anak di Asia pada khususnya, mereka yang beropini melawan orang tua ialah anak yang durhaka oleh karena itu sikap “Open” diantara anak dan orang tua perlu dilakukan agar bisa saling memahami seperti Mei dan Ming.

Selain itu saya sangat menyukai visual yang detail dengan penggunaan warna yang pop up membuat visual dari film Turning red ini sangat hidup dan nikmat untuk dinikmati. Detail seperti tekstur bulu panda merah raksasa juga menjadi point penting karena kita bisa mengamati setiap helai bulu merah panda itu. Lalu tentu saja warna yang hadir sepanjang film, di isi dengan warna cerah dengan saturasi yang relatif tinggi, mungkin karena pasar dari film ini adalah anak anak remaja, saya yakin audience akan menyenangi pilihan warna yang dibawa dalam film ini.

Sebagai kesimpulan, saya pribadi sangat menyukai dan merekomendasikan film Red Turning, hal itu karena beberapa poin seperti alur cerita yang maju mundur membuat kita merasa “Wah” dengan latar belakang dan backstory dari setiap karakter nya khususnya Mei dan Ming. Selain itu, film ini memiliki nilai moral yang tinggi, dengan mengangkat isu parenting dan hubungan antara remaja dan orang tua nya, menurut saya film ini sangat cocok untuk ditonton dengan keluarga, siapa tahu bisa membangun komunikasi antara remaja dan orang tua serta mengetahui keinginan masing masing, karena itulah kunci dari harmonisnya hubungan. Selain itu visual yang memanjakan mata pastinya akan membuat audience terkesima karena detail, komposisi, warna serta semiotika yang saling melengkapi satu sama lain. Akhir kata saya ingin mengucapkan “Jangan paksa anakmu menjadi dirimu, karena ia tidak terlahir di zamanmu” dari Ali Bin Abi Thalib, terimakasih! Sampai jumpa di lain kesempatan.