Yuni : Perempuan terbalut isu
27 March 2022 |
22:33 WIB
8
Likes
Like
Likes
REVIEW FILM ‘YUNI’
Film Yuni yang sempat gempar diranah festival sudah resmi rilis di bioskop Indonesia sejak Desember 2021. Terinspirasi dari kisah nyata asisten rumah tangganya, Kamila Andini sebagai sutradara film Yuni mengangkat tema mengenai isu di Serang, Banten. Sudah jarang disorot, tetapi masih cukup menjamur pada sebagian masyarakat, khususnya di pedesaan. Mengisahkan Yuni, seorang siswi berprestasi yang sudah mendekati kelulusannya dari bangku SMA. Namun di tengah itu, dua orang laki-laki datang dengan niat ingin meminang Yuni. Yuni dianggap memiliki daya tarik tersendiri bagi laki-laki. Walaupun demikian, tak satupun lamaran yang Yuni terima. Berita lamaran Yuni dengan cepat merebak dan menjadi bahan gunjingan warga sekitar. Keputusannya ini dianggap mendobrak budaya warga desa. Yuni didesak untuk menerima lamaran dan segera menikah.Tetapi ekspektasi warga bertolak belakang dengan tekad Yuni yang masih ingin merasakan angin kebebasan sebagai seorang remaja, mengeksplor banyak hal, dan melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi. Namun, Yuni diselimuti dilema oleh satu mitos mengatakan bahwa seorang perempuan tidak boleh menolak lamaran lebih dari dua kali, karena dianggap dapat membuat sulit mendapatkan jodoh di masa depan. Sampai akhirnya Yuni mendapat lamaran ketiga, yaitu dari guru di sekolahnya yang sempat ia kagumi. Yuni tak mampu berkutik lagi.
Dengan latar tempat di Serang, Banten, pernikahan dini dan patriarki ternyata masih belum habis bahkan di era modern seperti saat ini. Dalam film pun dijelaskan bahwa Yuni tinggal di desa yang sudah tersentuh oleh teknologi, ditunjukkan saat Yuni membeli kuota internet dan kegiatan browsingnya. Ya, Indonesia merupakan negara yang sebagian wilayahnya masih memegang teguh kebudayaan turun temurun. Terdapat hal yang di jaman sekarang sudah tidak relate, namun masih dinormalisasikan. Didukung oleh mindset masyarakat mengenai perbedaan antara laki-laki yang bebas memilih jalan hidupnya sendiri, tidak samarata dengan perempuan yang dianggap tidak perlu melanjutkan pendidikan setinggi mungkin, pernikahan dianggap sebagai titik akhir dalam hidup seorang perempuan sudah tertancap begitu dalam. Penggambaran, pemilihan set, kemunculan konflik yang jelas, dan elemen pendukung lainnya dalam film ini memberikan kesan sederhana, realistis, mengalir, dan tidak terkesan dilebih-lebihkan seperti drama remaja lainnya, seakan-akan mengikuti waktu, tidak terburu-buru. Rasanya seperti menonton rekaman kehidupan sehari-hari seorang remaja dengan sifat yang penuh akan rasa penasaran, labil, ingin mencoba banyak hal, dan berusaha mencari jatidirinya.
Selain permasalahan utama, sutradara seakan-akan menyindir isu lain juga dan terselipkan dalam film Yuni, seperti isu LGBT dan pendidikan seks yang dianggap masih cukup tabu untuk dibahas. Hal-hal inilah yang membuat film Yuni sangat menarik untuk ditonton. Untuk menambah ‘rasa’ dari latar tempat, film ini menggunakan bahasa Jaseng (Jawa Serang) sebagai bahasa utama. Selain bahasa, unsur kebudayaan lainnya juga dihadirkan, seperti saat Yuni terlibat dalam pencak silat di pernikahan temannya. Hal lain yang menambah totalitas dari film ini adalah hadirnya aktor berdarah Serang.
Pendalaman karakter yang dilakukan Arawinda dalam memerankan Yuni berhasil membuat penonton merasakan gejolak emosi yang hadir dalam setiap konflik. Arawinda mengaku memiliki mentornya sendiri untuk memperdalam bahasa jaseng. Ia juga menginap di rumah warga untuk mengamati dan meresapi jiwa dari karakter yang akan diperankannya. Totalitas sekali, bukan? Aktingnya yang berkualitas sangat terasa hingga berhasil mengalirkan karakter Yuni dengan sangat ciamik dan sangat real mengingat umur Arawinda yang baru 18 tahun saat proses shooting Yuni. Sulit dipercaya rasanya kalau ini adalah kali pertama Arawinda Kirana (Yuni) membintangi film besar. Hebatnya, dalam pengalaman pertamanya ini Arawinda berhasil memboyong penghargaan aktris terbaik pada ajang Festival Film Indonesia 2021.
Dari luar biasanya film Yuni ini, tak heran bila film Yuni bisa memperoleh segudang prestasi. Yuni berhasil mendapat penghargaan “Platform Prize” di Toronto International Film Festival (TIFF) 2021, dan juga ditunjuk sebagai film perwakilan Indonesia pada nominasi “Best International Feature Film” OSCAR 2022. Semoga akan semakin banyak lagi karya film yang lahir dan mendobrak kancah perfilman dan industri kreatif Indonesia, baik nasional maupun internasional.
Film Yuni yang sempat gempar diranah festival sudah resmi rilis di bioskop Indonesia sejak Desember 2021. Terinspirasi dari kisah nyata asisten rumah tangganya, Kamila Andini sebagai sutradara film Yuni mengangkat tema mengenai isu di Serang, Banten. Sudah jarang disorot, tetapi masih cukup menjamur pada sebagian masyarakat, khususnya di pedesaan. Mengisahkan Yuni, seorang siswi berprestasi yang sudah mendekati kelulusannya dari bangku SMA. Namun di tengah itu, dua orang laki-laki datang dengan niat ingin meminang Yuni. Yuni dianggap memiliki daya tarik tersendiri bagi laki-laki. Walaupun demikian, tak satupun lamaran yang Yuni terima. Berita lamaran Yuni dengan cepat merebak dan menjadi bahan gunjingan warga sekitar. Keputusannya ini dianggap mendobrak budaya warga desa. Yuni didesak untuk menerima lamaran dan segera menikah.Tetapi ekspektasi warga bertolak belakang dengan tekad Yuni yang masih ingin merasakan angin kebebasan sebagai seorang remaja, mengeksplor banyak hal, dan melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi. Namun, Yuni diselimuti dilema oleh satu mitos mengatakan bahwa seorang perempuan tidak boleh menolak lamaran lebih dari dua kali, karena dianggap dapat membuat sulit mendapatkan jodoh di masa depan. Sampai akhirnya Yuni mendapat lamaran ketiga, yaitu dari guru di sekolahnya yang sempat ia kagumi. Yuni tak mampu berkutik lagi.
Dengan latar tempat di Serang, Banten, pernikahan dini dan patriarki ternyata masih belum habis bahkan di era modern seperti saat ini. Dalam film pun dijelaskan bahwa Yuni tinggal di desa yang sudah tersentuh oleh teknologi, ditunjukkan saat Yuni membeli kuota internet dan kegiatan browsingnya. Ya, Indonesia merupakan negara yang sebagian wilayahnya masih memegang teguh kebudayaan turun temurun. Terdapat hal yang di jaman sekarang sudah tidak relate, namun masih dinormalisasikan. Didukung oleh mindset masyarakat mengenai perbedaan antara laki-laki yang bebas memilih jalan hidupnya sendiri, tidak samarata dengan perempuan yang dianggap tidak perlu melanjutkan pendidikan setinggi mungkin, pernikahan dianggap sebagai titik akhir dalam hidup seorang perempuan sudah tertancap begitu dalam. Penggambaran, pemilihan set, kemunculan konflik yang jelas, dan elemen pendukung lainnya dalam film ini memberikan kesan sederhana, realistis, mengalir, dan tidak terkesan dilebih-lebihkan seperti drama remaja lainnya, seakan-akan mengikuti waktu, tidak terburu-buru. Rasanya seperti menonton rekaman kehidupan sehari-hari seorang remaja dengan sifat yang penuh akan rasa penasaran, labil, ingin mencoba banyak hal, dan berusaha mencari jatidirinya.
Selain permasalahan utama, sutradara seakan-akan menyindir isu lain juga dan terselipkan dalam film Yuni, seperti isu LGBT dan pendidikan seks yang dianggap masih cukup tabu untuk dibahas. Hal-hal inilah yang membuat film Yuni sangat menarik untuk ditonton. Untuk menambah ‘rasa’ dari latar tempat, film ini menggunakan bahasa Jaseng (Jawa Serang) sebagai bahasa utama. Selain bahasa, unsur kebudayaan lainnya juga dihadirkan, seperti saat Yuni terlibat dalam pencak silat di pernikahan temannya. Hal lain yang menambah totalitas dari film ini adalah hadirnya aktor berdarah Serang.
Pendalaman karakter yang dilakukan Arawinda dalam memerankan Yuni berhasil membuat penonton merasakan gejolak emosi yang hadir dalam setiap konflik. Arawinda mengaku memiliki mentornya sendiri untuk memperdalam bahasa jaseng. Ia juga menginap di rumah warga untuk mengamati dan meresapi jiwa dari karakter yang akan diperankannya. Totalitas sekali, bukan? Aktingnya yang berkualitas sangat terasa hingga berhasil mengalirkan karakter Yuni dengan sangat ciamik dan sangat real mengingat umur Arawinda yang baru 18 tahun saat proses shooting Yuni. Sulit dipercaya rasanya kalau ini adalah kali pertama Arawinda Kirana (Yuni) membintangi film besar. Hebatnya, dalam pengalaman pertamanya ini Arawinda berhasil memboyong penghargaan aktris terbaik pada ajang Festival Film Indonesia 2021.
Dari luar biasanya film Yuni ini, tak heran bila film Yuni bisa memperoleh segudang prestasi. Yuni berhasil mendapat penghargaan “Platform Prize” di Toronto International Film Festival (TIFF) 2021, dan juga ditunjuk sebagai film perwakilan Indonesia pada nominasi “Best International Feature Film” OSCAR 2022. Semoga akan semakin banyak lagi karya film yang lahir dan mendobrak kancah perfilman dan industri kreatif Indonesia, baik nasional maupun internasional.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.