His House (2020): "Sebuah Black Horror Menjanjikan dari Sutradara Debutan"

27 March 2022   |   22:32 WIB
Image
Iyas Utomo Film di tangan kananku, buku di tangan kiriku.

Your ghosts follow you. They never leave. They leave with you. It’s when I let them in, I could start to face myself.

Berpusat pada cerita pasangan suami istri, Bol (Sope Dirisu) dan Rial (Wunmi Mosaku), His House tampil dengan cukup meyakinkan dari menit awal film ini dimulai. Berangkat dari sebuah scene usaha pelarian para pengungsi Sudan yang ingin mencari suaka di negera lain, Weekes dalam durasi 93 menit ke depan secara gamblang memberikan gambaran kepada penonton bahwa apa yang ingin ia sampaikan di sini tak hanya melulu soal horor yang sudah lazim dengan taburan jumpscare, akan tetapi sebuah teror yang juga berpusat pada pergolakan batin/jiwa para tokoh-tokoh yang ia ciptakan di film ini.

Cerita horor sebenarnya tak harus melulu soal hantu dengan kehadiran mereka yang secara tiba-tiba membuat jantung penonton terpaksa bekerja dua kali lipat, atau film yang sepanjang durasinya menuntut penonton untuk menyaksikannya hanya melalui celah-celah jari yang menutupi muka, tidak! Horor sebenarnya lebih bersifat personal, yang meski setting pencahayaan sebuah film dibikin terang seperti di film His House ini, sensasi horor bisa dihadirkan dalam bentuk lain yang lebih intim dengan memainkan titik lemah karakter sehingga emosi mencekam dan frustrasi bisa ter-deliver kepada penonton walaupun tanpa ada sosok hantu di dalam frame.

Sebagai sebuah karya debut, His House memberikan pengalaman menonton yang meski tak baru tapi cukup menyegarkan jika kita membandingkannya dengan gaya film horor yang tayang akhir-akhir ini. Meski menggunakan format yang sudah biasa dipakai, yakni si tokoh utama pindah ke sebuah rumah baru yang kemudian di sana mereka mulai dihantui oleh sosok-sosok menyeramkan penghuni rumah, muatan utama His House bisa dikatakan lebih menitikberatkan pada sebuah unfinished business yang dialami oleh kedua tokoh utama, atau bisa dikatakan juga jika horor di film ini merupakan metafora dari pengalaman-pengalaman traumatis (PTSD) kedua tokoh selama masa perang saudara yang terjadi di negara mereka dan saat masa-masa pelarian yang pada akhirnya terpaksa merenggut banyak nyawa?—?termasuk nyawa anak mereka yang menjadi momok utama di film ini.

Kedua tokoh utama kita, yakni Bol dan Rial, adalah dua orang pengungsi yang berasal dari Sudan Selatan, yang setelah tinggal di tempat penampungan selama beberapa saat, akhirnya mereka dipindahkan ke sebuah rumah yang nantinya akan menjadi rumah mereka jika mereka berdua berhasil melewati masa percobaan. Sebagai seorang yang beberapa kali merasakan adaptasi terhadap lingkungan tinggal baru, saya cukup bisa merasakan ‘takut’ yang dirasakan oleh Bol dan Rial saat mereka pertama kali ditempatkan di rumah baru di sebuah lingkungan yang nampak begitu acuh tak acuh dengan kehadiran mereka. Perbedaan budaya, warna kulit, dialek, nampaknya cukup menjadi boundaries yang menyempitkan gerak mereka dalam beradaptasi, meski di sini penonton akan diperlihatkan bagaimana Bol secara mati-matian berusaha untuk menjadi bagian dari masyarakat, tetapi tetap saja lingkungan tempat mereka tinggal tidak dengan mudah membuka tangan kepada dua orang yang tengah membiasakan diri dengan sebuah kebaruan dan mungkin saja mengalami shock culture dengan semua apa yang mereka lihat di lingkungan baru mereka.

Selama menonton film ini, kita akan diingatkan dengan film-film Jordan Peele, yakni Get Out (2017) dan Us (2019), keduanya merupakan black horror yang mempunyai gaya senada dengan His House. Sebuah horor yang lebih menekankan pengalaman penonton pada situasi menegangkan yang dibangun di sekitar tokoh utama dengan sentuhan social commentary yang menggelitik dan juga merupakan aspek esensial dalam film.

Meski His House menghadirkan hantu-hantu dengan sosok tribal khas penduduk suku-suku Afrika (hal ini disesuaikan dengan suku asal Bol dan Rial, yakni Dinka), akan tetapi pengalaman menyeramkan malah dihadirkan oleh Weekes saat Rial sedang seolah-olah terjebak pada blok kompleks perumahan yang secara tiba-tiba membuatnya tersesat seperti di dalam sebuah labirin, dan uniknya scene ini berlangsung saat siang hari dan di luar ruangan yang tentu saja pencahayaan saat scene ini berlangsung sangat terang benderang. Namun, rasa frustrasi yang dirasakan oleh Rial saat menghadapi hal itu berhasil ter-deliver dengan baik kepada penonton?—?seperti inilah, His House memberikan pengalaman horor bagi para penonton dengan cara yang cukup unik melalui penderitaan batin tokoh-tokohnya di sepanjang film.

Seperti mantra optimis yang selalu diucapkan Bol kepada orang-orang kulit putih di sekitar mereka, “One of the good ones,” meski merupakan sebuah karya debutan, His House cukup berani menjadi tontonan yang menjanjikan dengan konstruk film yang solid.


*Artikel pernah di-upload di sini.