Cinta Pertama, Kedua & Ketiga: Ketika Ageing Hadir dari Ruang Hampa

27 March 2022   |   22:04 WIB
Image
Hardiwan Prayogo Pegiat komunitas film Cinemartani. Tulisan-tulisannya dapat disimak melalui cinemartani.com

Like
Dewa, Linda, Raja dan Asia adalah 4 protagonis dalam Cinta Pertama, Kedua & Ketiga. Masing-masing membuka film sembari mengenalkan karakter dan informasi yang nantinya akan menjadi benang merah film. Dewa adalah pensiunan dengan gigi ompong, sedangkan Linda adalah lansia dengan payudara yang sudah diangkat akibat kanker payudara. Mereka berdua sama-sama orang tua tunggal. Dewa adalah ayah dari Raja, si bungsu dari 3 bersaudara (Kakak Raja adalah Ratu dan Suri). Linda adalah ibu dari Asia. Ibu dan anak ini sama-sama berprofesi sebagai guru tari. Raja dan Asia, anak muda usia 20-an yang sedang bergelut dengan usaha menuju kemapanan finansial.

Tokoh yang membuat film arahan Gina S. Noer ini berbeda dari film romance indonesia lainnya adalah kehadiran Dewa dan Linda. Tidak banyak film Indonesia yang menempatkan lansia menjadi arus utama penggerak konflik. Tanpa Dewa dan Linda, film ini tidak memiliki tawaran berbeda dibanding film box office indonesia pada umumnya. Tapi sayang, Gina memilih menghadirkan mereka dalam bingkai kisah cinta dan relasi keluarga yang heteronormatif. Sehingga penonton tidak akan menemukan representasi lansia selain bahwa mereka adalah kelompok yang rentan, kesepian dan menyedihkan.

Sosok Dewa dan Linda sebenarnya bisa digunakan untuk memperlihatkan lansia di masa pandemi dalam cara pandang yang lain. Memang benar bahwa di masa pandemi, lansia yang biasanya hanya berhadapan dengan masalah kesehatan, kini harus dicekam kecemasan yang lain, yaitu kesepian. Dalam Cinta Pertama, Kedua & Ketiga, Ratu dan Suri merasa bahwa Dewa harus selalu dirawat dan dijaga oleh Raja. Karena merasa masih cukup sehat dan mandiri, Dewa lebih meminta Raja memiliki pekerjaan yang lebih mapan ketimbang menjadi driver taksi online dan merawat dirinya. Dalam masalah kesepian, Dewa merasa bisa disembuhkan dengan menikahi Linda.

Ajakan pernikahan dari Dewa memang tidak langsung disetujui oleh Linda dan keluarga Dewa. Sampai akhir film, saya tidak menemukan alasan kenapa Linda mau menikahi Dewa. Sebelum mereka berdua menikah, Linda sebenarnya tampak seperti penyintas kanker payudara yang berdaya. Tetap bekerja dengan segala cara meski pandemi memaksa segala kegiatan fisik dibatasi. Linda juga tidak tampak terlihat kesepian dan tidak ada tanda-tanda kankernya hidup lagi. Satu-satunya persoalan adalah finansial. Sebagai konsekuensi dari pengobatan penyakit kanker, Asia harus gali lobang tutup lobang, hutang untuk membayar hutang yang lain. Jika ini satu-satunya problem, sepanjang film juga tidak diperlihatkan apa kontribusi Dewa bagi Linda setelah menikah. Dalam film ini, dua sosok perempuan yang sebenarnya bisa tampak mandiri, justru kehilangan peran pentingnya ketika berada dalam struktur keluarga yang heteronormatif (ayah, ibu dan anak).

Struktur keluarga heteronormatif ini pula yang menempatkan lansia, khususnya Dewa sebagai sosok rentan dan kesepian. Bagaimana Gina mengemas konstruksi keluarga demikian sama dengan cara pemerintah yang melihat lansia sebagai sosok statis dan tidak produktif. Pembubaran Komnas Lansia pada 2020, mendapat kritik karena dinilai akan menggerus hak keterwakilan lansia. Memang ada usaha dari pemerintah untuk menciptakan Kota Ramah Lansia dengan mengacu pada Age Friendly Cities guideline yang dibuat oleh WHO tahun 2002. Pemkot Yogyakarta sudah memulai usaha ini dengan meluncurkan Layanan Lansia Terintegrasi (LLT) yang dimulai dengan Akselerasi Penyelenggaraan Kesejahteraan Lanjut Usia. Kegiatan ini diharapkan sebagai titik awal dimulainya Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) penyelenggaraan Kesejahteraan Lanjut Usia. Bagi kita semua yang sedang berinteraksi dengan lansia, implementasi program-program ini tentu sangat dinanti.

Sebenarnya tidak hanya lansia, seluruh masyarakat dari golongan usia berapapun membutuhkan jaring pengaman yang layak dari pemerintah. Namun terkhusus lansia, untuk menjadi tua dan bahagia membutuhkan biaya yang tidak murah dan mudah. Dalam bingkai persoalan inilah pemerintah perlu hadir, tidak semata dengan menyerahkan lansia pada komunalitas dan peran anak (khususnya perempuan) dalam keluarga. Absennya kehadiran jaring pengaman inilah yang menciptakan sandwich generation seperti Raja dan Asia. Di dunia nyata, Raja dan Asia hanya sekelumit contoh. Namun agaknya melalui film, Gina bisa memilih menghadirkan lansia dalam bentuk representasi yang lain. 

Cinta Pertama, Kedua & Ketiga kemudian menjadi kampanye betapa menakutkannya menjadi tua, apalagi tanpa struktur keluarga yang “utuh” dan kemapanan finansial. Cara pandang menempatkan lansia sebagai sosok rentan agaknya dipengaruhi oleh nalar produktivitas masyarakat modern. Selain itu, bersama anak-anak, lansia ditempatkan sebagai golongan paling rentan di kala pandemi karena dianggap belum dan sudah melewati masa produktif. Sehingga kebutuhan dasar mereka harus ditunjang oleh generasi yang lain.

Anak muda sebagai penyelamat orang tua, kesan demikian cukup terasa dalam Cinta Pertama, Kedua & Ketiga. Semakin ditegaskan pada akhir film, ketika anak-anak Dewa dan Linda berkumpul untuk menjemput mereka dari panti jompo. Selain itu, dialog yang menerangkan bahwa Dewa yang membayar DP mobil Raja, scene Dewa mentransfer 25 juta karena mengira Raja ditangkap polisi, dan bagaimana Dewa memutuskan menjual rumah untuk menanggung hutang Suri, membuat kehadiran lansia, terutama Dewa, menjadi krusial semata karena masih mampu membantu kebutuhan finansial anak-anaknya. Lagi-lagi urusan duit. Tidak ada representasi lain akan pentingnya kehadiran sosok orang tua selain hanya menjadi ‘asuransi keuangan’ anak-anaknya. Melalui film ini, kita dapat melihat bagaimana pandangan normatif Gina S. Noer dalam memposisikan orang tua.

 Krisnawan Wisnu, dalam esainya yang berjudul Perkara Menjadi Tua coba menawarkan sudut pandang lain tanpa mengabaikan problem struktural yang terjadi. Wisnu menceritakan pengalamannya bertemu para lansia penjaga rumah tua di area pecinan Lasem, Rembang. Wisnu awalnya mengira bahwa kunjungannya ke rumah-rumah heritage ini akan menyerap informasi seputar sejarah akulturasi jawa-tionghoa, makna dari arsitektur rumah, dan sebagainya. Namun, Wisnu justru lebih banyak menemui cerita soal peristiwa sehari-hari dari para lansia ini. Hampir seluruh lansia penjaga rumah hidup sendirian.  Kehadiran orang luar seperti Wisnu ternyata membahagiakan para lansia. Karena orang-orang seperti Wisnu menjadi tempat yang menyenangkan untuk berbagi cerita soal pengalaman keseharian mereka sebagai warga. Refleksi atas pengalaman keseharian ini yang sama pentingnya dengan narasi historis dan arkeologis yang kerap dihasilkan para peneliti. Pengalaman dan memori-memori  subjektif para lansia inilah yang menubuh dan tidak berjarak dengan para pelaku sejarahnya. Artinya ada kedaulatan atas diri dan pengetahuan yang mereka miliki. Bagi Wisnu, cerita para lansia adalah cara untuk meretas memori dan pengetahuan yang elitis. Pengetahuan yang akhirnya menghasilkan diskriminasi terhadap golongan tertentu, termasuk lansia. Sosok Dewa dalam Cinta Pertama, Kedua & Ketiga yang digambarkan begitu menyedihkan karena terancam Alzheimer, memperlihatkan bagaimana kita masih terhegemoni elitisme tersebut. Sebagaimana pengalaman Wisnu di Lasem, sosok lansia di Cinta Pertama, Kedua & Ketiga barangkali bisa tampilkan dalam wajah yang menyambut pikun dan hari tua dengan sukacita.

Sebagai penutup, saya ingin bilang bahwa ageing bukanlah persoalan yang lahir dari ruang hampa, tetapi dikonstruksi oleh nilai-nilai sosial, ekonomi  dan politik. Pada persoalan inilah Gina sebagai sutradara Cinta Pertama, Kedua & Ketiga luput mendalaminya. Sayang sekali, film ini sebenarnya berpeluang bagi penonton muda untuk menyegarkan persepsi kita atas lansia. Ternyata belenggu konstruksi heteronormatif, elitisme pengetahuan, dan formulasi film box office indonesia masih membuat kita semakin cemas menghadapi hari tua.