'Spencer': Ada Apa Dengan Diana?
27 March 2022 |
19:11 WIB
Film panjang kesembilan sutradara Pablo Larraín, 'Spencer', dibuka dengan sebuah kalimat peringatan yakni "A Fable from True Tragedy" atau "Sebuah Kisah dari Tragedi Nyata". Dalam setidaknya 10 menit film berlangsung, Larraín mengajak para penonton filmnya untuk masuk ke tempat yang tidak nyaman dan menyenangkan, sekaligus ke suatu wilayah di mana sineas-sineas sebelumnya belum berani masuk ketika menceritakan hidup sang Putri Wales, Diana Spencer (diperankan oleh Kristen Stewart).
Dengan hanya 10 menit pertama dalam 'Spencer', Larraín secara subtil menggambarkan kondisi mental dan isi kepala si Putri Sejuta Umat yang digambarkan menjadi korban dari intrik kerajaan maupun keganasan publik melalui media massa, sementara berusaha menjadi ibu yang baik bagi kedua putranya dalam waktu yang bersamaan. 10 menit pertama adegan di dalam film juga turut menjadi pijakan bagi cerita selama sekitar 110 menit berikutnya.
Berlatarkan awal era 1990 yakni 1991, keluarga kerajaan Inggris tengah bersiap melaksanakan acara keluarga tahunan mereka jelang malam perayaan Natal 1991, di Kastil Sandringham, Norfolk. Sedikit dari yang mereka ketahui, momen kekeluargaan tersebut akan menjadi yang terakhir sebelum Putri Diana memutuskan untuk bercerai dari Pangeran Charles (Jack Farthing).
Koki, pelayan, hingga tentara bersiap menyambut keluarga kerajaan dengan memastikan pakaian hingga sajian makanan siap sempurna tanpa kekurangan. Ruangan anggota keluarga kerajaan disiapkan; lobster, daging, buah-buahan dibawa dalam peti kemas; semua pelayan berdandan klimis menyambut keluarga nomor satu di seantero persemakmuran.
Kendati demikian, suasana kastil yang megah dengan segala kemewahan dan formalitas di dalamnya, terasa seperti planet lain di angkasa luar bagi Diana, bahkan setelah sekitar 10 tahun menikah dengan keturunan kerajaan–yang bahkan hingga saat ini masih duduk manis menunggu turun takhtanya sang Ibu Ratu, Elizabeth II (diperankan Stella Gonet).
Tentu, seperti citranya yang masyhur di kalangan masyarakat sebagai seorang pemberontak, Diana terlambat datang ke kastil setelah keluarga kerajaan lainnya sampai terlebih dahulu. Dirundung rasa gugup dan gelisah, Diana mencari jalannya menuju kastil hingga tersesat di tempat dengan tak ada orang yang sama sekali dikenalnya. Dia terus berkendara dengan Porsche 911–suatu penanda yang menjadi totem akan sifat pemberontaknya–menyusuri jalan yang sama sekali tidak ada yang tahu berujung ke mana. Mungkin, Diana pun tak peduli ke mana mobil itu membawanya.
Namun demikian, berbeda dengan apa yang dialami Diana, semua orang mengenalnya, bahkan di tempat terpencil pun. Semua orang sontak berbisik, berdecak kagum, atau mungkin akan merogoh ponsel dan mengambil foto dengan Diana apabila Sang Putri masih hidup saat era Instagram dan TikTok berjaya.
"Aku mencari suatu tempat. Aku tak tahu berada di mana," ujar Diana alias Stewart yang bertransformasi menjadi salah satu figur yang paling dikagumi bahkan hingga saat ini. Tak ayal, dirinya sudah beberapa kali menjadi subyek dari banyak adaptasi film biografi (atau dikenal akrab dengan sebutan biopic). Aktris Naomi Watts dan Emma Corrin (bahkan memenangkan Golden Globe karena memerankan Diana) meneruskan estafet peran People's Princess kepada Stewart, yang berhasil mencetak nominasi Academy Award pertama dalam karirnya.
Kendati sudah diangkat ke layar lebar maupun kecil sebelumnya, ada yang berbeda dengan cara Stewart menafsirkan Diana. Selain pencapaiannya sebagai aktris Amerika Serikat pertama kali yang memerankan Diana, Stewart turut menghembuskan nafas baru ke dalam interpretasi figur yang dipuja banyak orang itu.
Dipilihnya Stewart untuk memerankan Diana, kontra dengan banyak pesimime orang-orang, merupakan salah satu keputusan casting yang betul-betul memanfaatkan kualitas asli sang aktris. Gaya awkward dan senyum kecil Stewart terasa sangat pas dan membuat anda berpikir bahwa Stewart bukan meniru Diana, namun dia menjadi sang putri dari versinya sendiri–suatu versi yang sejalan dengan visi Larraín untuk melihat sisi lain dari sosok ibu Pangeran William dan Pangeran Harry ini.
Secara kasat mata, Stewart dan Diana tidak memiliki kesamaan sama sekali. Namun, sebenarnya keduanya memiliki persona yang hampir mirip. Ada citra "pemberontak" pada keduanya. Perlakuan sebagian masyarakat terhadap keduanya didasarkan pada ekspektasi dan prasangka terhadap suatu kualitas dalam diri mereka. Pada satu sisi, Spencer menggambarkan ekspektasi dan representasi media terhadap Diana yang dinilai berkelakuan "tidak sesuai" dengan figur bangsawan dan kerap dijadikan bulan-bulanan tabloid.
Sementara itu, Stewart pun kerap diperlakukan cukup buruk oleh stereotip publik setelah membintangi seri Twilight, film yang sukses secara komersil namun dijadikan bahan tertawaan oleh budaya pop hingga era media sosial. Sejak itu, Stewart mencoba untuk masuk ke dalam ranah perfilman independen dan arthouse, kemudian menunjukkan kemampuannya yang dulu sempat direspons dengan sinisme dan seksisme.
Beberapa film yang mendapatkan sambutan positif dari kritik film baik dari AS maupun dunia datang dari penampilannya di Still Alice (Richard Glatzer dan Wash Westmoreland), Certain Women (Kelly Reichardt), serta dua film Olivier Assayas yakni Personal Shopper dan Clouds of Sils Maria–di mana Stewart beradu akting dengan Juliette Binoche dan menjadi satu-satunya aktris AS yang memenangkan penghargaan Aktris Pendukung Terbaik Cesar Award, Prancis untuk perannya di film tersebut.
Dalam Spencer, ada sisi yang jelek, grotesque, dan di luar kontrol pada hasil interpretasi Stewart atas Diana. Di balik citra sebagai perempuan kalangan bangsawan yang rendah hati dan dikagumi masyarakat, ada kegelapan yang menyelimuti kehidupan Diana. Ada impulsivitas untuk mendobrak keluar. Ada kemarahan yang direpresi oleh norma sosial sekaligus jiwa yang bebas diikat oleh kegelisahan.
Hal tersebut terlihat dari interpretasi skenario Steven Knight (Dirty Pretty Things, Eastern Promises, Peaky Blinders), yang mana menceritakan kerinduan Diana terhadap rumah dan keluarganya. Kerinduan tersebut merupakan reaksi dari apa yang dialami Diana di lingkungan megah kerajaan, khususnya bayang-bayang Camilla Bowles (istri Pangeran Charles saat ini) dari kejauhan sambil mengenakan kalung mutiara yang sama persis dengan yang dimilikinya.
Muncul empati yang dirasakan untuk Diana saat dirinya gelisah dirundung sorotan publik (jendela kamarnya bahkan sampai ditutup agar tidak ada paparazzi yang mengambil fotonya). Spekulasi publik dan gosip menjelma menjadi suara bising maupun bisik yang kerap menghantui Diana di dalam kastil yang megah tersebut.
Suasana tersebut berkat penyutradaraan Larraín, yang menghadirkan aura tidak nyaman dan melankolis untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi di dalam kepala dan apa yang dirasakan oleh Diana. Setiap mata maupun kamera tertuju kepadanya baik secara langsung maupun melalui kilat jepretan kamera; atau melalui mata keluarga kerajaan maupun media massa, dari belakang, depan, dan seluruh arah. Setiap gerak-gerik Diana seperti diperhatikan oleh dinding kastil yang secara diam-diam mengintip apa yang dilakukannya.
"Aku melihat untuk memastikan yang lainnya tak melihat," ujar Equerry Major Alistair Gregory, diperankan secara menyeramkan dan dingin oleh Timothy Spall, sebagai manifestasi dari mata kastil sekaligus keluarga kerajaan, ketika menemukan Diana menyelinap secara diam-diam keluar kastil ataupun hanya ingin mengambil makanan dari dapur. Tarik-ulur dan dinamika kuasa antara Spall dan Stewart merupakan salah satu highlight dari film ini. Keduanya saling menyindir, melempar sarkasme, dan bahkan bermain "kucing-kucingan" di dalam kastil.
Di sisi lain, kamera dari sinematografer Claire Mathon (Portrait of a Lady on Fire, Atlantique, Petite Maman) terus mengikuti langkah Diana dan menyorotnya dari seluruh penjuru arah. Mathon mencoba untuk seimbang dalam menghadirkan citra Diana; melalui close-up demi mempersilahkan Stewart memainkan ekspresinya yang versatile, atau wide shot kastil yang luas mengelilingi sang Putri bak berada dalam set film horor karya Stanley Kubrick, The Shining (1980).
Seperti halnya The Shining, Spencer juga memiliki karakter hantu–atau setidaknya ilusi yang menghantui kastil maupun tokoh utama–yakni Anne Boleyn. Dalam sejarah Inggris, Boleyn merupakan ratu dan istri dari Raja Henry VIII yang dihukum penggal pada 1536 akibat tuntutan terkait dengan perselingkuhan dan pengkhiatan. Namun, di dalam skenario yang ditulis oleh Steven Knight, Boleyn hadir kembali dalam mimpi dan imajinasi Diana yang sudah berada di titik nadir. Seperti hantu, arwah Boleyn muncul tiba-tiba dengan ekspresi haru seperti Diana, dan membuatnya tak bisa membedakan antara realita dan imajinasi.
Salah satu aspek utama lain yang menjadi daya tarik Spencer adalah kehadiran musik dari keyboardist Radiohead, Jonny Greenwood. Kombinasi iringan piano dan violin Greenwood menyertai perjalanan emosional Diana sejak awal film, dengan irama menakutkan dan melankolis. Secara pribadi, musik Greenwood untuk Spencer dirasa lebih efektif dan menarik penonton untuk merasakan apa yang dirasakan oleh karakter di dalam film, ketimbang karyanya yang mendapatkan nominasi Oscar, The Power of The Dog. Meski begitu, tidak ada yang kalah ketika Greenwood menambah daftar panjang resumenya yang mengkilat berkat kolaborasi dengan sineas-sineas seperti Larrain, Jane Campion, Paul Thomas Anderson, dan Lynne Ramsay. Ini adalah nominasi keduanya setelah Phantom Thread (2017).
Spencer, dan saudarinya 'Jackie' (2016), karya Pablo Larraín tentang ibu negara atau first lady Jackie Kennedy, menjadi testamen bahwa film biopic bisa dirangkai dengan perspektif lain yang lebih mikro dan fokus, ketimbang makro dan menyebabkan fokus kabur entah ke mana. Selain itu, baik Spencer maupun Jackie, turut menjadi bukti bahwa studio perlu menghamburkan uangnya untuk Larrain guna membuat lebih banyak film tentang figur maupun tokoh perempuan iconic ke depannya. Apabila menuruti preferensi pibadi: biopic Britney Spears terlihat menjanjikan.
Dengan hanya 10 menit pertama dalam 'Spencer', Larraín secara subtil menggambarkan kondisi mental dan isi kepala si Putri Sejuta Umat yang digambarkan menjadi korban dari intrik kerajaan maupun keganasan publik melalui media massa, sementara berusaha menjadi ibu yang baik bagi kedua putranya dalam waktu yang bersamaan. 10 menit pertama adegan di dalam film juga turut menjadi pijakan bagi cerita selama sekitar 110 menit berikutnya.
Berlatarkan awal era 1990 yakni 1991, keluarga kerajaan Inggris tengah bersiap melaksanakan acara keluarga tahunan mereka jelang malam perayaan Natal 1991, di Kastil Sandringham, Norfolk. Sedikit dari yang mereka ketahui, momen kekeluargaan tersebut akan menjadi yang terakhir sebelum Putri Diana memutuskan untuk bercerai dari Pangeran Charles (Jack Farthing).
Koki, pelayan, hingga tentara bersiap menyambut keluarga kerajaan dengan memastikan pakaian hingga sajian makanan siap sempurna tanpa kekurangan. Ruangan anggota keluarga kerajaan disiapkan; lobster, daging, buah-buahan dibawa dalam peti kemas; semua pelayan berdandan klimis menyambut keluarga nomor satu di seantero persemakmuran.
Kendati demikian, suasana kastil yang megah dengan segala kemewahan dan formalitas di dalamnya, terasa seperti planet lain di angkasa luar bagi Diana, bahkan setelah sekitar 10 tahun menikah dengan keturunan kerajaan–yang bahkan hingga saat ini masih duduk manis menunggu turun takhtanya sang Ibu Ratu, Elizabeth II (diperankan Stella Gonet).
Tentu, seperti citranya yang masyhur di kalangan masyarakat sebagai seorang pemberontak, Diana terlambat datang ke kastil setelah keluarga kerajaan lainnya sampai terlebih dahulu. Dirundung rasa gugup dan gelisah, Diana mencari jalannya menuju kastil hingga tersesat di tempat dengan tak ada orang yang sama sekali dikenalnya. Dia terus berkendara dengan Porsche 911–suatu penanda yang menjadi totem akan sifat pemberontaknya–menyusuri jalan yang sama sekali tidak ada yang tahu berujung ke mana. Mungkin, Diana pun tak peduli ke mana mobil itu membawanya.
Namun demikian, berbeda dengan apa yang dialami Diana, semua orang mengenalnya, bahkan di tempat terpencil pun. Semua orang sontak berbisik, berdecak kagum, atau mungkin akan merogoh ponsel dan mengambil foto dengan Diana apabila Sang Putri masih hidup saat era Instagram dan TikTok berjaya.
"Aku mencari suatu tempat. Aku tak tahu berada di mana," ujar Diana alias Stewart yang bertransformasi menjadi salah satu figur yang paling dikagumi bahkan hingga saat ini. Tak ayal, dirinya sudah beberapa kali menjadi subyek dari banyak adaptasi film biografi (atau dikenal akrab dengan sebutan biopic). Aktris Naomi Watts dan Emma Corrin (bahkan memenangkan Golden Globe karena memerankan Diana) meneruskan estafet peran People's Princess kepada Stewart, yang berhasil mencetak nominasi Academy Award pertama dalam karirnya.
Kendati sudah diangkat ke layar lebar maupun kecil sebelumnya, ada yang berbeda dengan cara Stewart menafsirkan Diana. Selain pencapaiannya sebagai aktris Amerika Serikat pertama kali yang memerankan Diana, Stewart turut menghembuskan nafas baru ke dalam interpretasi figur yang dipuja banyak orang itu.
Dipilihnya Stewart untuk memerankan Diana, kontra dengan banyak pesimime orang-orang, merupakan salah satu keputusan casting yang betul-betul memanfaatkan kualitas asli sang aktris. Gaya awkward dan senyum kecil Stewart terasa sangat pas dan membuat anda berpikir bahwa Stewart bukan meniru Diana, namun dia menjadi sang putri dari versinya sendiri–suatu versi yang sejalan dengan visi Larraín untuk melihat sisi lain dari sosok ibu Pangeran William dan Pangeran Harry ini.
Secara kasat mata, Stewart dan Diana tidak memiliki kesamaan sama sekali. Namun, sebenarnya keduanya memiliki persona yang hampir mirip. Ada citra "pemberontak" pada keduanya. Perlakuan sebagian masyarakat terhadap keduanya didasarkan pada ekspektasi dan prasangka terhadap suatu kualitas dalam diri mereka. Pada satu sisi, Spencer menggambarkan ekspektasi dan representasi media terhadap Diana yang dinilai berkelakuan "tidak sesuai" dengan figur bangsawan dan kerap dijadikan bulan-bulanan tabloid.
Sementara itu, Stewart pun kerap diperlakukan cukup buruk oleh stereotip publik setelah membintangi seri Twilight, film yang sukses secara komersil namun dijadikan bahan tertawaan oleh budaya pop hingga era media sosial. Sejak itu, Stewart mencoba untuk masuk ke dalam ranah perfilman independen dan arthouse, kemudian menunjukkan kemampuannya yang dulu sempat direspons dengan sinisme dan seksisme.
Beberapa film yang mendapatkan sambutan positif dari kritik film baik dari AS maupun dunia datang dari penampilannya di Still Alice (Richard Glatzer dan Wash Westmoreland), Certain Women (Kelly Reichardt), serta dua film Olivier Assayas yakni Personal Shopper dan Clouds of Sils Maria–di mana Stewart beradu akting dengan Juliette Binoche dan menjadi satu-satunya aktris AS yang memenangkan penghargaan Aktris Pendukung Terbaik Cesar Award, Prancis untuk perannya di film tersebut.
Dalam Spencer, ada sisi yang jelek, grotesque, dan di luar kontrol pada hasil interpretasi Stewart atas Diana. Di balik citra sebagai perempuan kalangan bangsawan yang rendah hati dan dikagumi masyarakat, ada kegelapan yang menyelimuti kehidupan Diana. Ada impulsivitas untuk mendobrak keluar. Ada kemarahan yang direpresi oleh norma sosial sekaligus jiwa yang bebas diikat oleh kegelisahan.
Hal tersebut terlihat dari interpretasi skenario Steven Knight (Dirty Pretty Things, Eastern Promises, Peaky Blinders), yang mana menceritakan kerinduan Diana terhadap rumah dan keluarganya. Kerinduan tersebut merupakan reaksi dari apa yang dialami Diana di lingkungan megah kerajaan, khususnya bayang-bayang Camilla Bowles (istri Pangeran Charles saat ini) dari kejauhan sambil mengenakan kalung mutiara yang sama persis dengan yang dimilikinya.
Muncul empati yang dirasakan untuk Diana saat dirinya gelisah dirundung sorotan publik (jendela kamarnya bahkan sampai ditutup agar tidak ada paparazzi yang mengambil fotonya). Spekulasi publik dan gosip menjelma menjadi suara bising maupun bisik yang kerap menghantui Diana di dalam kastil yang megah tersebut.
Suasana tersebut berkat penyutradaraan Larraín, yang menghadirkan aura tidak nyaman dan melankolis untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi di dalam kepala dan apa yang dirasakan oleh Diana. Setiap mata maupun kamera tertuju kepadanya baik secara langsung maupun melalui kilat jepretan kamera; atau melalui mata keluarga kerajaan maupun media massa, dari belakang, depan, dan seluruh arah. Setiap gerak-gerik Diana seperti diperhatikan oleh dinding kastil yang secara diam-diam mengintip apa yang dilakukannya.
"Aku melihat untuk memastikan yang lainnya tak melihat," ujar Equerry Major Alistair Gregory, diperankan secara menyeramkan dan dingin oleh Timothy Spall, sebagai manifestasi dari mata kastil sekaligus keluarga kerajaan, ketika menemukan Diana menyelinap secara diam-diam keluar kastil ataupun hanya ingin mengambil makanan dari dapur. Tarik-ulur dan dinamika kuasa antara Spall dan Stewart merupakan salah satu highlight dari film ini. Keduanya saling menyindir, melempar sarkasme, dan bahkan bermain "kucing-kucingan" di dalam kastil.
Di sisi lain, kamera dari sinematografer Claire Mathon (Portrait of a Lady on Fire, Atlantique, Petite Maman) terus mengikuti langkah Diana dan menyorotnya dari seluruh penjuru arah. Mathon mencoba untuk seimbang dalam menghadirkan citra Diana; melalui close-up demi mempersilahkan Stewart memainkan ekspresinya yang versatile, atau wide shot kastil yang luas mengelilingi sang Putri bak berada dalam set film horor karya Stanley Kubrick, The Shining (1980).
Seperti halnya The Shining, Spencer juga memiliki karakter hantu–atau setidaknya ilusi yang menghantui kastil maupun tokoh utama–yakni Anne Boleyn. Dalam sejarah Inggris, Boleyn merupakan ratu dan istri dari Raja Henry VIII yang dihukum penggal pada 1536 akibat tuntutan terkait dengan perselingkuhan dan pengkhiatan. Namun, di dalam skenario yang ditulis oleh Steven Knight, Boleyn hadir kembali dalam mimpi dan imajinasi Diana yang sudah berada di titik nadir. Seperti hantu, arwah Boleyn muncul tiba-tiba dengan ekspresi haru seperti Diana, dan membuatnya tak bisa membedakan antara realita dan imajinasi.
Salah satu aspek utama lain yang menjadi daya tarik Spencer adalah kehadiran musik dari keyboardist Radiohead, Jonny Greenwood. Kombinasi iringan piano dan violin Greenwood menyertai perjalanan emosional Diana sejak awal film, dengan irama menakutkan dan melankolis. Secara pribadi, musik Greenwood untuk Spencer dirasa lebih efektif dan menarik penonton untuk merasakan apa yang dirasakan oleh karakter di dalam film, ketimbang karyanya yang mendapatkan nominasi Oscar, The Power of The Dog. Meski begitu, tidak ada yang kalah ketika Greenwood menambah daftar panjang resumenya yang mengkilat berkat kolaborasi dengan sineas-sineas seperti Larrain, Jane Campion, Paul Thomas Anderson, dan Lynne Ramsay. Ini adalah nominasi keduanya setelah Phantom Thread (2017).
Spencer, dan saudarinya 'Jackie' (2016), karya Pablo Larraín tentang ibu negara atau first lady Jackie Kennedy, menjadi testamen bahwa film biopic bisa dirangkai dengan perspektif lain yang lebih mikro dan fokus, ketimbang makro dan menyebabkan fokus kabur entah ke mana. Selain itu, baik Spencer maupun Jackie, turut menjadi bukti bahwa studio perlu menghamburkan uangnya untuk Larrain guna membuat lebih banyak film tentang figur maupun tokoh perempuan iconic ke depannya. Apabila menuruti preferensi pibadi: biopic Britney Spears terlihat menjanjikan.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.