Gretel And Hansel (2022)

27 March 2022   |   12:31 WIB

Like
Title : Gretel And Hansel
Cast : Sophia Lillis, Samuel Leakey, Alice Krige, Jessica De Gouw, Beatrix Perkins, Giulia Doherty, Charles Babalola, Fiona O'Shaughnessy
Director : Oz Perkins
Release Year : 2022 (Indonesia)

__________
 
Eropa memang dikenal sebagai gudangnya dongeng-dongeng populer yang kerap menjadi inspirasi bagi sejumlah penulis, seniman, musisi maupun sineas selama beberapa dekade terakhir. Red Ridding Hood, Cinderella, Snow White, Hansel And Gretel adalah beberapa judul yang kerap diadaptasi ke dalam beragam bentuk pertunjukan, entah itu film, teater atau pun animasi modern. 
Khusus Hansel And Gretel, dongeng klasik yang ditulis oleh Jacob & Wilheim Grimm ini pertama kali diterbitkan tahun 1812. Setidaknya sejak 1900-an Hansel And Gretel telah mengalami beberapa kali adaptasi ke dalam beragam bentuk pertunjukan dengan genre yang bervariasi. Sebagian besar memang dikhususkan sebagai konsumsi anak-anak, sebagaimana tujuan dongeng itu dibuat. Namun, sejak dua dekade terakhir beberapa sineas mencoba untuk lebih menggali sisi gelap dari kisah Hansel And Gretel ini. Jika ditelisik lebih dalam, Hansel And Gretel sebenarnya punya sisi horror yang potensial jika digarap dengan benar. Sayang, hanya segelintir saja yang berhasil menggali sisi gelap dongeng anak-anak ini kedalam balutan horror yang sesungguhnya.
 
Gretel And Hansel (selanjutnya ditulis GAH) merupakan film ketiga Oz Perkins sebagai director, setelah The Blackcoat's Daughter (2015) dan I Am The Pretty Thing That Lives In The House (2016). Keduanya sama-sama bergenre horror. GAH bercerita tentang kakak beradik yang mengembara ke tengah hutan setelah terusir dari kediamannya. Berbekal saran dari seorang pemburu yang mereka temui di perjalanan, mereka kemudian memutuskan untuk menuju ke tempat rombongan pemburu berada, sembari berharap ada kehidupan yang lebih baik di sana. Namun di tengah perjalanan menyusuri hutan, mereka malah bertemu sebuah rumah (kabin) yang di dalamnya terdapat beragam sajian menggugah selera. Kegamangan seketika menyeruak : melanjutkan perjalanan dengan perut lapar atau menumpang istirahat di rumah aneh ini barang sejenak? Di tengah keletihan dan rasa lapar yang tak tertahankan, opsi kedua lebih mereka sukai. Maka mereka kemudian bertemu dengan Holda, si pemilik rumah yang tak lain merupakan seorang penyihir kanibal jahat. Mereka juga diizinkan menetap di rumah itu, diberi makanan yang banyak dan tempat istirahat yang layak. Seiring berjalannya waktu, keanehan demi keanehan di kediaman itu mulai terendus sang kakak, Gretel, yang memang diberkahi kepekaan di luar nalar. Sampai akhirnya Gretel menemukan sebuah rahasia besar yang selama ini disembunyikan Holda. Sebuah rahasia yang menguak sebuah misteri besar perihal tragedi yang pernah terjadi di desa tempat tinggal Gretel puluhan tahun silam.
Diperankan Sophia Lillis (Gretel), Sam Leakey (Hansel) dan Alice Krige (Penyihir Holda), GAH versi Perkins sepertinya masih memakai pattern yang mirip-mirip dengan dua film garapan sebelumnya yang atmosferik dengan pace yang lumayan lamban.
 
GAH secara umum masih punya sinopsis yang tidak jauh berbeda dengan dongeng aslinya, tentu dengan beberapa perubahan minor di beberapa titik. Perkins sepertinya cukup bijak dengan tidak terlampau rakus dalam melakukan perubahan kecuali judul yang dibalik. Ya, judul yang dibalik. Cukup berani, mengingat khalayak lebih familiar dengan sebutan Hansel And Gretel, bukan sebaliknya. Sehingga banyak yang menduga GAH sebenarnya adalah bentuk propaganda feminisme terselubung yang menyaru sebagai film horror, sebagaimana 2 karya Perkins sebelumnya yang selalu mendapuk perempuan sebagai tokoh utamanya. 
Namun dugaan saya, ide untuk menggunakan nama Gretel sebagai judul murni karena film ini adalah tentang Gretel. Benar, secara umum GAH lebih banyak terfokus ke karakter Gretel ketimbang Hansel. Tentang begitu buruknya hubungan Gretel dengan sang ibu yang berujung pengusiran, pelecehan verbal dari calon majikan tempatnya melamar kerja, sampai koneksi gaib antara Gretel dengan Holda sang penyihir. Semuanya tentang Gretel. 
 
Terlepas dari itu semua, saya bersyukur Perkins tidak latah menjadikan film ini sebagai horror murahan bertabur jumpscare cringe dengan dialog-dialog receh yang basi. Perkins justru membuat GAH versinya lebih kelam di aspek cerita, tapi indah secara visual. Penggunaan skema warna complementary antara oranye api yang hangat dan biru malam yang dingin berpadu dengan apik di beberapa adegan. Saat scene berlatar malam, perpaduan warna biru-hitam dengan kontras rendah membuat suasana malam menjadi tidak terlalu pekat dan terlampau gulita. Jadi saat ditonton dengan kontras layar yang rendah sekali pun film ini masih bisa dinikmati tanpa bikin mata perih. Begitu pula saat adegan berpindah ke luar ruangan, warna-warna hangat seketika mengambil alih. Benar-benar treatment yang memanjakan mata.
Harus diakui, sinematografi di GAH benar-benar memukau. Angkat topi untuk Galo Olivares selaku sinematografer. Di tangannya, barisan pepohonan tak bergerak saja bisa menjadi sesuatu yang sangat menyeramkan untuk dilihat. Visualisasi per adegan juga direka dengan tidak asal-asalan. Ada estetika yang tersamar di balik setiap kebrutalan itu. Ingat adegan Hansel yang tak sengaja menemukan pepohonan dengan puluhan pasang sepatu yang menggantung di rantingnya? Atau adegan saat Holda mengeluarkan seikat rambut anak kecil dari mulutnya? Disturbing sekaligus memukau!
 
Pace GAH juga terbilang pelan untuk ukuran film horror. Namun itu termaafkan dengan banyaknya scene-scene atmosferik yang bertebaran di sana sini. Benar-benar tipikal film horror modern. Pattern seperti ini sebenarnya sudah lazim diterapkan di beberapa film horror modern -setidaknya- sedekade terakhir. Vvitch (2015) adalah salah satunya. Jika terbiasa dengan horror sejenis The Conjuring, SAW atau Insidious, kemungkinan akan cepat merasa bosan dan kecewa dengan GAH. Butuh kesabaran ekstra untuk menyelesaikan film berdurasi 87 menit ini. Namun, bagi yang suka horror tapi menghindari jumpscare berlebih, sepertinya GAH cocok dijadikan alternatif.
 
Kalau ada yang patut dikritisi barangkali ada di aspek horrornya yang dirasa kurang menggigit. Tujuan utama menonton film horror adalah untuk 'ditakuti'. Dan saya tidak mendapatkan itu. Beberapa scene -yang terindikasi- sadis juga terkesan 'nanggung' saat dieksekusi, seperti ditahan-tahan. Sangat disayangkan, padahal kalau mau brutal, sekalian saja. Tapi ini hanya masalah selera saja. Toh saya cukup suka dengan cara Perkins membangun ketegangan dengan sabar, hingga mencapai klimaks berbalut plot twist kecil di akhir.
 
Apapun, GAH adalah sebuah penyegaran di tengah gempuran film horror supranatural arus utama yang masih saja memakai treatment usang sebagai formula andalannya. GAH adalah sebuah pembaharuan. Walaupun sebatas a
daptasi, bukan berarti GAH menjiplak habis-habisan cerita asli dongeng klasik itu. Ada beberapa perubahan segar dan treatment yang tidak didapat di versi-versi sebelumnya. Dan yang terpenting, Perkins membuktikan bahwa horror yang bagus tidak melulu tentang penampakan seram, jumpscare atau teriakan-teriakan histeris. 

#hypefilm #hypeabismoviereview