De Toeng: Urban Legend Jeneponto yang Mengangkat Kearifan Lokal

26 March 2022   |   13:35 WIB
Image
Ardiyan Putranto Seorang suami yang pengen jadi sutradara

Like

Diangkat dari mitos masyarakat Jeneponto, film “De Toeng: Misteri Ayunan Nenek” menyuguhkan cerita etnograf yang menggambarkan sisi kepercayaan suatu mitos dengan kearifan lokalnya. Film yang tayang di bioskop Indonesia pada 11 Februari 2021 ini menyisakan rasa penasaran bagi para penikmat film horor untuk  menelisik lebih jauh tentang keberadaan Jeneponto di Sulawesi Selatan. Tak ayal sang produser, Asmin Amin, melihat celah ini sebagai angin segar untuk menggarap sebuah tontonan bergenre mistis yang belum banyak di Indonesia seperti cerita lokal atau urban legend.


“De Toeng”, film produksi Turatea production dan 786 production asal Makassar, mengambil lokasi syuting di sebuah bukit yang terkenal dengan sebutan “Bukit Toeng” di Kampung Tanetea, Kelurahan Bontorannu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Tempat yang menjadi latar film ini menunjukan lokasi sebenarnya dimana mitos “Nenek Toeng Royong” berasal.

Cerita bermula ketika Dr. Zaldy dan keluarga kecilnya tiba di sebuah desa terpencil di “Bukit Toeng”. Dr. Zaldy dipindah tugaskan sebagai mantri kesehatan di desa tersebut. Dia membawa istrinya, Hanum, beserta anak pertama mereka bernama Rania yang masih berusia 5 tahun. Kehadiran mereka tentu disambut hangat oleh penduduk setempat.

Singkat cerita, sebuah villa yang mereka tempati mendadak terasa ganjil semenjak Rania sering melihat dan bertemu seorang nenek yang tak kasat mata. Nenek tersebut rupanya adalah “Nenek Toeng Royong” yang dikenal masyarakat sekitar sebagai sesosok penunggu bukit Toeng. Dulunya nenek Toeng adalah seorang wanita yang meninggal di villa tersebut karena harus bersembunyi menyelamatkan cucunya dari ancaman suaminya.

Sang suami, Karaeng Ledeng, sebagai pemilik rumah dan lahan di bukit Toeng masih sangat memegang teguh pendirian dimana perkawinan 2 individu yang berbeda kasta akan menurunkan derajatnya. Namun kendati demikian, perkawinan itupun terjadi dari anak Karaeng Ledeng dan melahirkan seorang cucu laki-laki. Cucu inilah yang akhirnya dibawa oleh nenek Toeng ke suatu bukit.

Nenek Toeng akhirnya menemukan sebuah villa di bukit Toeng dan meminta bantuan Kepala Dusun untuk merahasiakan keberadaannya bersama cucu laki-lakinya. Karena kecintaan pada cucunya, Nenek Toeng sering mendendangkan lagu pengantar tidur sambil mengayunkan ayunan. Hingga pada hari itu tiba, keduanya ditemukan meninggal karena sakit di dalam villa tersebut. Arwah nenek itulah yang seringkali dilihat oleh Rania, putri Dr. Zaldy.

Film “De Toeng: Misteri Ayunan Nenek dibintangi oleh Sean Hasyim sebagai Dr. Zaldy dan Kartika Waode Sari sebagai Hanum. Selain menggandeng artis ibukota, Asmin Amin juga membawa para pemain lokal ke layar lebar. Hal ini tentu mengangkat kualitas para talenta daerah dalam bermain peran. Satu poin yang masih jarang ditemui di perfilman layar lebar Indonesia.

Banyak hal menarik yang bisa ditemui di film bergenre thriller horor ini. Salah satunya adalah kearifan lokal dari masyarakat Jeneponto di Sulawesi Selatan. Dari kebanyakan film horor, sisi mistis adalah hal yang paling dominan. Namun di tangan Asmin Asmin, film horor “De Toeng” memberikan nuansa berbeda karena masyarakat tidak hanya disuguhkan dengan hal-hal mistis tetapi juga budaya lokal yang menarik.

Film yang tidak hanya menghibur saja tapi juga menyuguhkan wawasan budaya tentunya memiliki nilai tersendiri di masyarakat. Seperti halnya “De Toeng”, film ini kaya akan nilai kearifan lokal yang unik. Meski berlabel horor, Asmin Amin tak mau begitu saja menampilkan tontonan-tontonan mistis di setiap adegan filmnya. Sang produser juga mengisinya dengan konten-konten lokal yang bisa ditemui di Jeneponto. Salah satunya adalah Siri’. Orang bugis menganggap Siri’ sebagai simbol kemanusian.

Lain Siri’ lain juga A’rate. A’rate adalah pujian-pujian kepada Nabi Muhammad  dengan unsur budaya khas Makassar. Sering dibacakan ketika acara Maulid Nabi. Salah satu adegan film juga menampilkan bacaan–bacaan pengusir setan ketika para sesepuh setempat ingin mengusir arwah nenek Toeng. Lalu, bagaimana seorang ayah menjaga adat keras seperti yang dilakukan Karaeng Ledeng, suami dari nenek Toeng, juga mengisi jejeran daftar budaya lokal yang dapat ditemui di Jeneponto.

Dengan menonton film “De Toeng : Misteri Ayunan Nenek” dari awal sampai akhir, masyarakat diharapkan semakin yakin bahwa Indonesia itu memang kaya. Banyak kearifan lokal yang bisa ditemui seperti yang ada di Jeneponto.

Sekali lagi, Asmin Amin dan sang sutradara, Bayu Pamungkas, berhasil menyuguhkan film horor yang berbeda. Sebuah genre film yang seharusnya penuh adegan mistis namun menjadi menarik karena kaya akan nilai budaya.  De Toeng secara sederhana berhasil mengangkat cerita urban legend dalam bingkai kearifan lokal Jeneponto.

#hypefilm  #hypeabismoviereview