Review Film “The Power Of The Dog” (2021) : Tentang Toxic Masculinity, Kasih Sayang Anak dan Balas Dendam

25 March 2022   |   22:54 WIB

Like
Setelah 12 tahun hiatus dari dunia perfilman, Jane Campion kembali dengan sebuah mahakarya penuh misterinya yaitu The Power of The Dog. Film adaptasi dari novel yang berjudul sama karya Thomas Savage ini bertema koboi Amerika tahun 1920-an yang banyak menuai komentar positif dan banyak dibicarakan karena meraih 12 nominasi Oscars tahun 2022 –yang juga menjadikan film ini sebagai film dengan nominasi terbanyak pada ajang bergengsi tersebut.

Jane Campion, sang sutradra membangun plot cerita berdasarkan pergulatan batin dari masing-masing tokoh central yang kemudian menjadi akar atas perilaku mereka terhadap masalah yang dihadapi. Selain lebih banyak memperlihatkan gejolak emosi dari setiap karakter, film ini juga banyak menyajikan visual yang memanjakan mata dan sinematografi dengan proporsi yang tepat. Walaupun alurmya yang terbilang lambat dan minim dialog, hal tersebut tidak menggoyahkan saya untuk tetap bertahan hingga akhir.
 

Perbukitan indah New Zealand di The Power of The Dog ( Sumber : Netfllix)

Perbukitan indah New Zealand di The Power of The Dog ( Sumber : Netfllix)

Campion menyulap New Zealand dengan pesona perbukitannya yang indah menjadi Montana tahun 1925, latar yang sangat tepat menggambarkan jaman koboi di Amerika. Keindahan sinematik dari alam yang disuguhkan mungkin akan terasa lebih menakjubkan jika kita menonton film ini di layar lebar. Sehingga sangat disayangkan, film ini tidak bisa kita saksikan di bioskop lokal dan hanya bisa diakses melalui platform streaming Netflix.
 

(Warning! : Ulasan mengandung spoiler)
Bercerita tentang Phil Burbank (Benedict Cumberbatch) yang terusik oleh kedatangan pemuda bernama Peter ke dalam hidupnya. Hubungan kedua karakter yang kompleks ini menjadi kunci terkait tema maskulinitas yang ditonjolkan di sepanjang film. Karakter Phil adalah sosok si paling koboi diantara para koboi. Dia semacam yang paling dominan bagi para koboi lain yang bekerja di peternakan yang dikelola bersama adiknya, George (Jesse Plemons). Sedangkan karakter Peter (Kodi Smit-McPhee) merupakan pemuda kurus tinggi yang terlihat lebih feminim karena ia menyukai bunga dan dekat dengan ibunya (Kirsten Dunst) atau yang biasa dijuluki dengan Mama’s Boy.
 

Jesee Plemons dan Kirsten Dunst dalam The Power of The Dog ( Sumber : Netflix)

Jesee Plemons dan Kirsten Dunst dalam The Power of The Dog ( Sumber : Netflix)
 

Di menit-menit awal, film ini intens menampilkan sikap Phil yang haus akan validasi bahwa ia adalah seorang dominan yang kasar, macho dan tangguh. Contohnya pada saat Phil mengebiri seekor sapi, ia tidak menggunakan sarung tangan karena ingin menunjukkan bahwa “gue lakik banget nih”. Namun seiring pertambahan durasi, nantinya kita akan melihat bahwa ada alasan personal dibalik sikap kasar yang selalu ia tampilkan tersebut.

Alur cerita dimulai ketika Phil memimpin George dan koboi lainnya ke tempat makan dimana Peter dan Ibunya tinggal. Di meja makan, terdapat sebuah kerajinan bunga dari kertas buatan Peter yang menarik perhatian Phil. Kita akan tahu bahwa Phil sebenarnya menyukai bunga tersebut namun menutupi ketertarikannya dengan meledek Peter. Phil melakukan hal demikian demi mejaga reputasinya sebagai seorang yang maskulin dan jantan dihadapan para koboi lainnya. Dari kejadian itulah, lantas membuat kita semakin penasaran sejauh mana ia akan menutupi jati dirinya dan akan seperti apa tampilan Phil yang sebenarnya.

Maka saat George yang ternyata memutuskan untuk menikahi Rose, ibu Peter, Phil murka. Ia sangat marah pada Peter yang akan menjadi ancaman untuk menunjukkan jati dirinya, pada George yang telah mengkhianatinya dan juga tentu saja pada Rose. Phil menjadi sangat intimidatif dan melakukan perundungan kepada ibu dan anak tersebut sebagai wujud penolakan terhadap mereka.

Film ini tentu tidak hanya berputar pada permasalahan Phil, tetapi juga pada Peter. Pada awal kemunculannya, Peter berbicara tentang tugasnya sebagai seorang pria untuk melindungi ibunya. Rela melakukan segala cara untuk membuat ibunya selalu bahagia. Satu tujuan yang sama yaitu membuktikan diri sebagai “pria” tergambar pada dua situasi yang berbeda antara Phil dan Peter.

Babak selanjutnya kita dibawa untuk lebih menyelam pada sosok Phil yang sebenarnya. Phil yang pada saat itu hidup di zaman pada saat orientasi seksual masih terbatas, ternyata (pernah) menyukai seorang mentornya yang sama-sama pria, terlihat pada satu adegan intimnya dengan sebuah kain yang bertuliskan “BH” alias Bronco Henry. Phil merindukan hubungan yang ia rasakan pada sang mentor, sehingga membuatnya tertarik pada Peter dan kemudian akrab dengannya.
 

Phil and Peter The Power of The Dog ( Sumber : Netflix)

Phil and Peter The Power of The Dog ( Sumber : Netflix)
 

Kedekatannya dengan Phil membuat Peter tidak melewatkan kesempatannya untuk balas dendam atas apa yang telah dilakukan Phil terhadap ibunya. Ia mengambil kulit kerbau yang sudah mati dan beracun, kemudian memberikannya kepada Phil sebagai bahan membuat tali saat ia kesal karena kulit-kulit yang telah dikumpulkan dijual oleh ibu Peter, Rose. Kemudian Phil mencuci kulit tersebut dengan air dan tanpa sarung tangan padahal ia sedang memiliki luka yang masih terbuka. Hingga ketika Phil meninggal, disebutkan bahwa kematiannya disebabkan oleh Anthrax, penyakit yang disebabkan oleh kontak dengan bangkai hewan.

Di akhir film diperlihatkan Peter yang tersenyum tipis setelah ia melihat ibunya bahagia memulai hidup baru bersama George yang terlepas dari intimidasi seorang Phil. Awalnya kita pasti mengira bahwa Phil merupakan seorang yang jantan dan tangguh, layaknya sifat natural seekor anjing atau dog. Namun, ternyata sosok lemah seperti Peter-lah yang sebenarnya tangguh karena ia mampu mengalahkan Phil. Disinilah makna judul “The Power of The Dog” terungkap.

Sebenarnya, film “The Power of The Dog” bukanlah film yang kompleks dan sulit dipahami. Namun, kita hanya perlu lebih menyimak setiap detail dialog dan adegan untuk mengerti sebab akibat dalam setiap kejadian di film ini. Saya sendiri tidak menyangka film slow-burn yang awalnya sedikit membosankan ini ternyata mempunyai kekuatan tersendiri untuk menghadirkan cerita sederhana menjadi sangat sirat penuh makna.

Selain alur cerita dan sinematografinya yang menakjubkan, ada satu hal yang juga menarik perhatian yaitu elemen musik atau scoring. Musik country yang biasanya dimainkan dengan alat musik Banjo ini memang menjadi ciri khas Amerika pada zaman itu. Sehingga, rasanya musik-musik tersebut memiliki kekuatan khusus untuk menghidupkan setiap adegan dalam film ini.

Pesan mengenai toxic masculinity yang diberikan juga membawa kita untuk tidak melihat kekuatan seorang pria hanya dari tampang dan penampilannya, karena pasti setiap pria memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan kekuatan atau kejantanannya.

Final rate 9/10.