Tick, Tick... Boom! (2021): Lakon Seniman yang Bertanding dengan Usia 30
22 March 2022 |
11:23 WIB
145
Likes
Like
Likes
“Aku mau hidup 1000 tahun lagi!” ucap Chairil Anwar melalui puisinya berjudul Aku yang dipublikasikan 79 tahun silam. Tentu yang dimaksud bukanlah hidup 1000 tahun lagi secara fisik, melainkan ingin memiliki karya yang dapat dikenang sepanjang masa. Begitu pula dengan sosok Jonathan Larson dalam film musikal autobiografi Tick, Tick… Boom! (Lin-Manuel Miranda, 2021). Komposer sekaligus penulis asal Amerika itu terobsesi untuk memiliki sebuah karya besar yang tak lekang dimakan zaman.
Film ini dibuka dengan sebuah lagu yang merepresentasikan kegelisahan Larson karena dalam hitungan delapan hari, ia akan menginjak usia 30 tahun. Beberapa orang mungkin melihat usia 30 sebagai geruh-gerah jika belum bekerja sesuai passion, berkeluarga, atau memiliki rumah mewah. Ya, sama halnya dengan Larson. Bagi Larson, usia 30 adalah titik krusial kala ia harus menentukan kelanjutan karyanya sebagai penulis drama dan komposer atau meninggalkannya dan mencari pekerjaan kantoran seperti temannya Michael yang tinggal dengan nyaman di apartemen mewah. Larson mengutuk dirinya karena belum berhasil menjejakkan karyanya di panggung Broadway.
Tak dapat dipungkiri bahwa dunia ini memang cukup kejam bagi mereka yang ingin menghabiskan masa hidupnya dalam ranah seni. Barangkali memang benar bahwa kegiatan yang memiliki pondasi cinta hanya membuahkan apresiasi yang minim karena dirasa tidak sesuai dengan embel-embel konstruksi sosial yang terbentuk. Pernyataan tersebut kerap kali menyita pikiran, waktu, tenaga, dan emosi dari para pelakunya. Penolakan-penolakan yang ada membuat mereka merasa seperti tidak layak untuk berkarya. Mereka mengerahkan begitu banyak upaya hanya untuk dicela.
Lantas, apa yang memotivasi Larson untuk berkarya dengan tetap gigih dan tekun?
Passion dan kecintaannya terhadap Broadway adalah apa yang membuatnya terus maju. Terlepas dari emosi serta energi yang selalu dipertaruhkan, Larson percaya bahwa upayanya untuk mempertahankan sesuatu yang dicintainya akan berhasil, meskipun hal tersebut jauh dari kerangka konstruksi sosial. Larson tetap tekun membuat karya musikal sci-fi bertajuk Superbia, sebuah karya tentang manusia modern yang menonton konglomerat memamerkan hartanya di televisi. Larson percaya bahwa mahakaryanya tersebut akan membuatnya lepas dari julukan struggling artist. Namun, sebelum dia memulai workshop Superbia agar karyanya dilirik oleh produser Broadway, Larson diharuskan menulis satu lagu utama sebagai puncak musikal. Alih-alih mendapat banyak inspirasi, Larson justru kehilangan kreativitas dan ide.
Tik, tik, tik… usia 30 semakin dekat dan Larson belum juga menciptakan lagu utama untuk karyanya. Larson terus memaksa dirinya terinspirasi. Larson yang pada saat itu harus bertahan hidup dari gaji ke gaji sebagai pramusaji di Moondance Diner, terpaksa memeras pikiran untuk mengejar mimpinya dalam apartemennya yang sebentar lagi runtuh.
Dengan berjalannya waktu, akhirnya workshop yang digarap habis-habisan terlaksana dengan lancar dan ia dibanjiri pujian dari berbagai kalangan. Tahun demi tahun, rencana-rencana Larson pun berjalan dengan baik secara perlahan dan ia akan mulai mengerjakan proyek selanjutnya, yakni Rent. Tragisnya, satu hari sebelum drama musikal Rent ditampilkan, Larson meninggal karena penyakit Aneurisma Aorta yang luput terdiagnosis.
Tampaknya memang benar bahwa esensi suatu karya seni adalah sentuhan hati penikmatnya. Tick, Tick… Boom! (2021) merupakan karya yang berhasil mendekat pada kenyataan-kenyataan hidup yang kita jalani, terutama untuk mereka yang mempertaruhkan segalanya untuk mimpinya dan berjibaku untuk membuat karya yang diakui. Film ini menghadirkan sebuah pengalaman bagi penontonnya. Penonton diundang untuk merasakan pergulatan batin dalam setiap adegannya. Namun di saat yang sama, setiap adegan pula yang merangkai karakter utuh Larson. Hal tersebut didukung dengan keberhasilan Andrew Garfield yang berpindah karakter dari superhero dan menjelma menjadi komposer dan musisi berbakat di Amerika pada 1990-an. Andrew memberi nyawa pada tokoh Jonathan Larson. Penampilannya sungguh memukau tanpa cela.
Lin-Manuel Miranda kerap menuai banyak kritik seperti dalam karyanya yang bertajuk In The Heights (2021) dan Hamilton (2015). Dalam In The Heights (2021), Miranda dirasa kurang memberikan representasi Afro-Latin. Sedangkan dalam Hamilton (2015), Miranda menghilangkan beberapa detail buruk dari kehidupan Alexander Hamilton - termasuk fakta bahwa dia mendukung perbudakan. Tidak untuk Tick Tick… Boom! (2021). Dalam karya ini, Miranda berhasil mengajak penonton untuk duduk dekat dengan subjek. Miranda berhasil memvisualisasikan musik dan lirik garapan Larson dengan jujur dan tidak berlebihan. Tampaknya Miranda paham betul bahwa musik serta lirik dari Larson sudah sangat kuat, sehingga yang perlu ia lakukan adalah memastikan penonton menangkap konten dan konteksnya.
Tick, Tick… Boom! (2021) berakhir tragis. Larson yang sudah berusaha mati-matian untuk menjejakkan karyanya di panggung Broadway, gagal untuk melihat hasil jerih payahnya. Musikal Rent garapannya menjadi salah satu pertunjukan terlama di Broadway yang berlangsung selama 12 tahun dan menghasilkan lebih dari USD 280 juta. Produksi karya itu juga menyabet Tony Awards, Drama Desk Awards, dan Pulitzer Prize for Drama. Keberhasilan pertunjukkan itu membawanya ke beberapa tur nasional serta produksi internasional. Pada tahun 2005, Rent diadaptasi menjadi film yang menampilkan aktor aktris terkemuka.
Raganya memang telah mati, tetapi Larson telah hidup 1000 tahun melalui karyanya. Ia seolah menggema bersama larik yang dilantunkan oleh Chairil Anwar.
Film ini dibuka dengan sebuah lagu yang merepresentasikan kegelisahan Larson karena dalam hitungan delapan hari, ia akan menginjak usia 30 tahun. Beberapa orang mungkin melihat usia 30 sebagai geruh-gerah jika belum bekerja sesuai passion, berkeluarga, atau memiliki rumah mewah. Ya, sama halnya dengan Larson. Bagi Larson, usia 30 adalah titik krusial kala ia harus menentukan kelanjutan karyanya sebagai penulis drama dan komposer atau meninggalkannya dan mencari pekerjaan kantoran seperti temannya Michael yang tinggal dengan nyaman di apartemen mewah. Larson mengutuk dirinya karena belum berhasil menjejakkan karyanya di panggung Broadway.
Tak dapat dipungkiri bahwa dunia ini memang cukup kejam bagi mereka yang ingin menghabiskan masa hidupnya dalam ranah seni. Barangkali memang benar bahwa kegiatan yang memiliki pondasi cinta hanya membuahkan apresiasi yang minim karena dirasa tidak sesuai dengan embel-embel konstruksi sosial yang terbentuk. Pernyataan tersebut kerap kali menyita pikiran, waktu, tenaga, dan emosi dari para pelakunya. Penolakan-penolakan yang ada membuat mereka merasa seperti tidak layak untuk berkarya. Mereka mengerahkan begitu banyak upaya hanya untuk dicela.
Lantas, apa yang memotivasi Larson untuk berkarya dengan tetap gigih dan tekun?
Passion dan kecintaannya terhadap Broadway adalah apa yang membuatnya terus maju. Terlepas dari emosi serta energi yang selalu dipertaruhkan, Larson percaya bahwa upayanya untuk mempertahankan sesuatu yang dicintainya akan berhasil, meskipun hal tersebut jauh dari kerangka konstruksi sosial. Larson tetap tekun membuat karya musikal sci-fi bertajuk Superbia, sebuah karya tentang manusia modern yang menonton konglomerat memamerkan hartanya di televisi. Larson percaya bahwa mahakaryanya tersebut akan membuatnya lepas dari julukan struggling artist. Namun, sebelum dia memulai workshop Superbia agar karyanya dilirik oleh produser Broadway, Larson diharuskan menulis satu lagu utama sebagai puncak musikal. Alih-alih mendapat banyak inspirasi, Larson justru kehilangan kreativitas dan ide.
Tik, tik, tik… usia 30 semakin dekat dan Larson belum juga menciptakan lagu utama untuk karyanya. Larson terus memaksa dirinya terinspirasi. Larson yang pada saat itu harus bertahan hidup dari gaji ke gaji sebagai pramusaji di Moondance Diner, terpaksa memeras pikiran untuk mengejar mimpinya dalam apartemennya yang sebentar lagi runtuh.
Dengan berjalannya waktu, akhirnya workshop yang digarap habis-habisan terlaksana dengan lancar dan ia dibanjiri pujian dari berbagai kalangan. Tahun demi tahun, rencana-rencana Larson pun berjalan dengan baik secara perlahan dan ia akan mulai mengerjakan proyek selanjutnya, yakni Rent. Tragisnya, satu hari sebelum drama musikal Rent ditampilkan, Larson meninggal karena penyakit Aneurisma Aorta yang luput terdiagnosis.
Tampaknya memang benar bahwa esensi suatu karya seni adalah sentuhan hati penikmatnya. Tick, Tick… Boom! (2021) merupakan karya yang berhasil mendekat pada kenyataan-kenyataan hidup yang kita jalani, terutama untuk mereka yang mempertaruhkan segalanya untuk mimpinya dan berjibaku untuk membuat karya yang diakui. Film ini menghadirkan sebuah pengalaman bagi penontonnya. Penonton diundang untuk merasakan pergulatan batin dalam setiap adegannya. Namun di saat yang sama, setiap adegan pula yang merangkai karakter utuh Larson. Hal tersebut didukung dengan keberhasilan Andrew Garfield yang berpindah karakter dari superhero dan menjelma menjadi komposer dan musisi berbakat di Amerika pada 1990-an. Andrew memberi nyawa pada tokoh Jonathan Larson. Penampilannya sungguh memukau tanpa cela.
Lin-Manuel Miranda kerap menuai banyak kritik seperti dalam karyanya yang bertajuk In The Heights (2021) dan Hamilton (2015). Dalam In The Heights (2021), Miranda dirasa kurang memberikan representasi Afro-Latin. Sedangkan dalam Hamilton (2015), Miranda menghilangkan beberapa detail buruk dari kehidupan Alexander Hamilton - termasuk fakta bahwa dia mendukung perbudakan. Tidak untuk Tick Tick… Boom! (2021). Dalam karya ini, Miranda berhasil mengajak penonton untuk duduk dekat dengan subjek. Miranda berhasil memvisualisasikan musik dan lirik garapan Larson dengan jujur dan tidak berlebihan. Tampaknya Miranda paham betul bahwa musik serta lirik dari Larson sudah sangat kuat, sehingga yang perlu ia lakukan adalah memastikan penonton menangkap konten dan konteksnya.
Tick, Tick… Boom! (2021) berakhir tragis. Larson yang sudah berusaha mati-matian untuk menjejakkan karyanya di panggung Broadway, gagal untuk melihat hasil jerih payahnya. Musikal Rent garapannya menjadi salah satu pertunjukan terlama di Broadway yang berlangsung selama 12 tahun dan menghasilkan lebih dari USD 280 juta. Produksi karya itu juga menyabet Tony Awards, Drama Desk Awards, dan Pulitzer Prize for Drama. Keberhasilan pertunjukkan itu membawanya ke beberapa tur nasional serta produksi internasional. Pada tahun 2005, Rent diadaptasi menjadi film yang menampilkan aktor aktris terkemuka.
Raganya memang telah mati, tetapi Larson telah hidup 1000 tahun melalui karyanya. Ia seolah menggema bersama larik yang dilantunkan oleh Chairil Anwar.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.