Soul (2020): Hidup Kembali Demi Hal yang Dicintai

22 March 2022   |   13:33 WIB

Like
"Hidup bukan soal mencari apa yang menjadi tujuan kita. Hidup adalah menjalani hidup kita sepenuhnya setiap hari",

Kira-kira begitu pesan yang hendak ingin disampaikan sang sutradara, Pete Docter, dalam film animasi besutan Disney dan Pixar bertajuk Soul yang dirilis pada tahun 2020 ini.

Joe Gardner (Jamie Foxx) memiliki minat yang kuat terhadap musik jazz sejak ia diperkenalkan oleh ayahnya di usia remajanya. Sejak saat itu ia sangat jatuh hati pada jazz dan yakin bahwa ia dilahirkan ke dunia untuk menjadi musisi jazz.

Joe bertekad setiap detiknya untuk berusaha menjadi pianis jazz. Perjalanannya memang tidak mudah, bahkan ia harus menjadi guru musik paruh waktu di sebuah sekolah menengah pertama untuk tetap bertahan hidup sambil menunggu kesempatan untuk menjadi pianis jazz seutuhnya.

Suatu hari, Joe akhirnya berkesempatan untuk tampil bersama musisi saxophone jazz kenamaan dan akan membuktikan bahwa dirinya layak untuk tampil. Namun sayangnya Joe jatuh ke dalam lubang jalan hingga koma dan membawa jiwanya ke The Great Beyond, yaitu tempat jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia.

Joe pun harus menjelajahi alam The Great Before—tempat jiwa-jiwa yang akan lahir, agar ia bisa kembali ke dunia karena ia merasa bahwa takdirnya sebagai pianis jazz belum terpenuhi dan meninggal dunia bukanlah saat yang tepat. Di sanalah ia bertemu dengan 22 (Tina Fey), sesosok jiwa bebal dan annoying yang tidak ingin turun ke dunia dan kelak menemani perjalanan Joe untuk bisa kembali ke tubuhnya yang sedang terbaring di rumah sakit.

Dalam perjalanan Joe dan 22 di film ini, kita akan diperlihatkan perkembangan karakter dan chemistry yang tidak biasa di antara mereka berdua. Dimulai dari keduanya yang sangat bersikeras untuk mempertahankan pendirian dan pandangan mereka akan hidup, seiring waktu berubah menjadi lebih lembut dan lebih peka pada apa yang ada di sekeliling mereka. Situasi yang terjadi pun membuat pandangan mereka terasa luas, lebih jelas, dan tidak lagi terpaku pada ‘aku dan duniaku’ saja.

Joe dan 22 dalam film Soul (Sumber gambar: flipboard.com)

Joe dan 22 di The Great Before dalam film Soul (2020) (Sumber gambar: Pixar)

Untuk grafis dan animasi, Disney dan Pixar tidak bisa diragukan lagi kemampuannya dalam menciptakan sesuatu yang tidak mungkin menjadi terasa sangat nyata. Kita diperlihatkan bagaimana gambaran sebelum manusia lahir, mereka bisa mendapatkan sepaket kepribadian, kecerdasan, dan minat dalam bentuk yang unik dan menarik. Penampakan dunia The Great Before terasa dibuat sangat modern dan futuristik, membuat film Soul jadi terlihat lebih segar dan menarik perhatian penonton akan bayangan bagaimana jiwa-jiwa manusia terbentuk dalam versi sang sutradara. Sementara alam The Great Beyond yang ditampilkan sekilas dalam film dibuat terasa hampa dan lebih tenang, seolah-olah jiwa-jiwa manusia yang memang tidak akan membawa apapun lagi setelah mereka meninggalkan kehidupan mereka di dunia.

Konsep psikologi mengenai minat dan bakat dalam film ini dibawakan dengan cara yang tidak biasa dan rasanya mudah dipahami untuk orang-orang awam, seperti pada saat dimana Joe dan 22 bertemu dengan Moonwind dan teman-temannya. Dalam film disebutkan dua konsep menarik mengenai ketertarikan kita pada minat dan bakat, yaitu ‘the zone’ dan ‘lost soul’. Ketika kita melakukan sesuatu yang kita senangi dan minati, maka hal tersebut membuat kita terbawa suasana dan larut dalam kebahagiaan hingga melupakan masalah lainnya yang disebut dengan ‘the zone’. Namun, hal tersebut dapat berakibat buruk apabila hal yang kita senangi tersebut berubah menjadi obsesi yang justru akan membuat kita merasa frustasi, depresi, dan menjadi ‘terputus’ dengan dunia luar—inilah yang disebut dengan ‘lost soul’. Moonwind dan teman-temannya membantu para ‘lost soul’ untuk dapat terlepas dari obsesi yang menjerat ‘jiwa’ mereka.

Terlepas dari bahasan soal minat dan bakat pada manusia, film ini juga menampilkan momen yang tidak kalah penting. Ketika adanya konflik antara Joe dan sang Ibu (Phylicia Rashad) perihal apa yang dihasilkan dari kegiatan yang kita lakukan. Joe melihat bahwa kegiatan yang kita lakukan harus memberikan makna pada hidup kita, sedangkan sang Ibu berpikir secara realistis bahwa kegiatan yang kita lakukan harus bisa berbuah materi, seperti uang dan karir. Hal ini merupakan konflik yang banyak terjadi dalam keluarga—sang anak memperjuangkan hal yang ia cintai, sementara orang tua berpikir lebih jauh untuk masa depan anaknya.

Ketika pertama kali menonton film ini, saya dibuat takjub dengan plot cerita yang tidak biasa untuk film sekelas studio Disney dan Pixar. Digabungkan dengan animasi yang memukau, tema eksistensial yang diusung dalam film dibuat menjadi cukup sederhana, tidak begitu berat, dan mudah dipahami oleh khalayak umum. Namun ketika menonton untuk yang kedua kali, saya justru terharu dan pada akhirnya menangis karena film ini sangat menggambarkan saya, dan mungkin orang lain, yang sedang dalam fase pencarian jati diri dan tujuan hidup. Saya senang karena film ini benar-benar sukses menyentuh jiwa-jiwa manusia yang memang sedang mengalami hal yang sama seperti Joe Gardner.

Ada satu scene favorit saya dimana salah satu teman Joe, Dez (Donnell Rawlings), seorang barber yang bercerita bahwa awalnya dia tidak punya minat sama sekali dengan dunia pangkas rambut. Sementara 22 mengira kalau setiap manusia yang lahir ke dunia sudah ditetapkan dari sananya atas minat dan bakatnya. Namun proses dalam hidup Dez dan segala lika likunya membuat Dez mau tidak mau beralih menjadi barber, lalu pada akhirnya dia justru sangat mahir dalam pangkas rambut dan dia tetap bisa bahagia dengan bakat barunya itu. Situasi ini cukup lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari, mengingat bahwa kepribadian dan minat tidak hanya soal faktor keturunan atau 'bawaan', namun lingkungan dan pengalaman juga berperan penting dalam pembentukan diri manusia. Para psikolog juga menjelaskan bahwa diri kita terbentuk atas nature (bawaan lahir, keturunan, genetika) dan nurture (lingkungan, sosial, pengalaman).

Untuk anak-anak yang menontonnya, mungkin tidak akan mudah untuk dipahami secara gamblang, tapi saya yakin bahwa orang yang mendampingi mereka pun mampu untuk menjelaskan lebih lanjut secara sederhana tentang apa makna sesungguhnya dari film ini dan bisa diaplikasikan pada hidup mereka sendiri.

Akhir kata, film Soul sangat layak untuk dinikmati setiap orang. Walau dengan tema dan konsep yang dewasa dan mendalam, namun film ini mampu menyentuh hati para penikmatnya, terutama kepada yang sedang mengalami masa-masa pencarian sense of living atau yang sedang berada pada peralihan fase kehidupan yang tidak mudah. Saya pribadi sangat menikmati setiap momen yang ada pada film, tidak hanya animasinya yang memukau, namun jalan cerita dan pesan yang terselip di dalamnya membuat film ini sangat kaya akan makna kehidupan yang sayang sekali untuk dilewatkan oleh penikmat film.