BERNOSTALGIA LEWAT LAYAR TANCAP
27 April 2022 |
20:30 WIB
Suasana Minggu petang itu di sebuah lapangan Kawasan Jatisampurna, Bekasi, Jawa Barat, terasa berbeda dari hari biasanya. Puluhan orang berkumpul, bersiap untuk mempertunjukan film lawas yang diputar pada layar putih dengan dibentangkan diantara dua buah tiang bambu yang terpancang ke tanah. Tak hanya satu, ada puluhan layar yang siap tertancap kekar di lokasi itu.
Senja berganti malam, muda-mudi hingga paruh baya mulai berdatangan dan mencari posisi terbaik untuk menyaksikan film-film yang mereka rindukan, seperti aksi Barry Prima dan film india yang menjadi film wajib dalam setiap pertunjukan tersebut.
Menonton layar tancap mungkin sudah menjadi kegiatan langka, perkembangan video digital dan bioskop-bioskop modern perlahan-lahan mulai menggeser keberadaannya. Terancam mati perlahan, tradisi layar tancap mencoba bertahan hidup lewat gairah masa lalu. Hingga kini tradisi jadul itu masih dilestarikan oleh segelintir penikmat film lawas yang bersikeras menjajakan bioskop keliling sebagai hiburan untuk kaum pinggiran.
Di era keemasannya, layar tancap adalah primadona hiburan kaum urban terlebih saat akhir pekan. Umumnya pertunjukan berlangsung saat pesta pernikahan, khitanan atau perayaan lainnya.
Saat ini sebagian dari kita hanya menikmatinya sebagai nostalgia, sementara sisanya masih merawat layar tancap dengan kecintaan dan kesabaran, seperti Komunitas Persatuan Layar Tancap Indonesia (PLTI).
Saat ini sebagian dari kita hanya menikmatinya sebagai nostalgia, sementara sisanya masih merawat layar tancap dengan kecintaan dan kesabaran, seperti Komunitas Persatuan Layar Tancap Indonesia (PLTI).
Ketua Umum PLTI Muhamad Salam atau yang biasa dipanggil Ibhet mengatakan, bahwa komunitas yang telah berdiri sejak 5 Desember 2013 itu. Saat ini telah memiliki 15 Ranting yang tersebar di Jabodetabek, Karawang dan Cirebon bahkan anggotanya ada yang berasal dari luar negeri.
Kebanyakan dari anggota komunitas itu mengoleksi format roll film 16 mm hingga 35 mm. Kegemarannya menonton dan mengoleksi roll film lawas pun dijadikannya sebagai ladang mencari uang. Hal ini sekaligus sebagai ajang melestarikan budaya menonton layar tancap di era kini.
Kebanyakan dari anggota komunitas itu mengoleksi format roll film 16 mm hingga 35 mm. Kegemarannya menonton dan mengoleksi roll film lawas pun dijadikannya sebagai ladang mencari uang. Hal ini sekaligus sebagai ajang melestarikan budaya menonton layar tancap di era kini.
Pada masa kejayaannya pada tahun 2000an, dalam seminggu ia mengaku bisa menjajakan layar tancapnya di empat lokasi. Ia menaksir pendapatannya bisa mencapai Rp500.000 hingga Rp1,5 juta sekali pertunjukan. "Tergantung jarak penyewanya, semakin jauh semakin mahal," tuturnya.
Ibhet menyebut, ia biasa memutar empat sampai lima judul dalam satu acara hingga dini hari. "Film favorit nih biasanya kalau di Tangerang Film Bollywood (India), Bekasi film nasional, Jakarta beragam ada Suzana, Warkop DKI, Benyamin, dan lainnya," ucap dia.
Di era kekinian dimana kebudayaan tradisional mulai terpinggirkan, layar tancap justru masih bertahan memperlihatkan eksistensinya. Menonton layar tancap membuat kita seperti bernostalgia kembali ke masa lalu, banyak kesan dan kenangan manis yang tersaji dalam setiap pertunjukannya.
Ibhet menyebut, ia biasa memutar empat sampai lima judul dalam satu acara hingga dini hari. "Film favorit nih biasanya kalau di Tangerang Film Bollywood (India), Bekasi film nasional, Jakarta beragam ada Suzana, Warkop DKI, Benyamin, dan lainnya," ucap dia.
Di era kekinian dimana kebudayaan tradisional mulai terpinggirkan, layar tancap justru masih bertahan memperlihatkan eksistensinya. Menonton layar tancap membuat kita seperti bernostalgia kembali ke masa lalu, banyak kesan dan kenangan manis yang tersaji dalam setiap pertunjukannya.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.