Mengenang Seniman Nashar, Melawan Kritik dengan Karya
09 May 2021 |
09:07 WIB
Dari Balai Budaya, Jakarta, mengalir kisah perjalanan hidup Nashar, yang penuh dengan pergulatan kreatif, kegetiran hidup, dan kemiskinan materi. Tetapi jiwa, mental, hidupnya, terutama semangatnya sangat kaya akan nilai-nilai humanisme.
Begitu ungkapan Aisul Yanto, pelukis yang menjadi salah satu penggagas pameran bertajuk Tribute to Nashar: Tonggak dan Martir Seni Lukis Abstrak Indonesia, yang digelar di Balai Budaya, Jakarta.
Pameran lukisan yang diikuti oleh 20 seniman ini diadakan pada 20—27 Februari 2021 sebagai bentuk penghormatan pada perjuangan sang maestro.
“Kami juga ingin menyebarkan literasi seni dan budaya kepada masyarakat luas, terutama kepada generasi muda,” ujar Aisul.
Sosok Nashar dalam kancah seni rupa Indonesia dinilai istimewa. Berkat keteguhan dan perjuangannya yang gigih, sang maestro mematahkan persepsi kritis yang menuding bahwa karya-karyanya telah melenceng dari teori seni di Tanah Air.
Nashar pernah mendapatkan reputasi sebagai seniman yang kontroversial di Indonesia. Karya-karya eksentriknya yang berjaya pada 1960—1970 sering menuai kritik kalangan seniman senior seperti Bapak Seni Rupa modern Indonesia Selo Sudjojono, yang mencapnya sebagai pelukis yang tidak berbakat.
Lahir di Pariaman, Sumatra Barat, Nashar dikenal dengan tafsir puitisnya di atas kanvas, tentang lanskap Indonesia dan perjuangan manusia.
Dia tumbuh di tengah masa sulit dan ketika penjajah Jepang masuk ke Ranah Minang. Nashar bersama keluarganya kemudian memutuskan untuk merantau ke Jakarta.
Pada masa mudanya, sang seniman menemukan ‘zona aman’ atau sanctuary pada saat melukis. Beranjak dewasa, dia memutuskan untuk melakukan hal yang berlawanan dengan ayahnya yang seorang pedagang.
Sebagai seniman, Nashar memiliki peran yang tidak hanya penting tetapi juga berpengaruh besar pada ranah seni di Tanah Air.
Beberapa catatan dan penuturannya mengungkapkan bahwa dirinya selalu berpesan kepada murid-muridnya untuk bebas dan mandiri dalam mencari cara berekspresi.
Pada zaman revolusi, Nashar pernah bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) dan mengikuti lembaga tersebut, pindah ke Madiun, Solo dan Yogyakarta.
Sejarawan University of California Jeffrey Hadler beberapa tahun lalu mengungkapkan bahwa di sana Nashar berguru langsung kepada Affandi. Aliran karya lukisan Nashar pun kemudian banyak dipengaruhi oleh karya-karya Rusli, Zaini dan Popo Iskandar.
Nashar kemudian mempelajari subjek karya para guru dan menangkap esensinya melalui lukisan abstrak yang dipimpin oleh intuisi kedalaman pikirannya.
Editor: Dika Irawan
Begitu ungkapan Aisul Yanto, pelukis yang menjadi salah satu penggagas pameran bertajuk Tribute to Nashar: Tonggak dan Martir Seni Lukis Abstrak Indonesia, yang digelar di Balai Budaya, Jakarta.
Pameran lukisan yang diikuti oleh 20 seniman ini diadakan pada 20—27 Februari 2021 sebagai bentuk penghormatan pada perjuangan sang maestro.
“Kami juga ingin menyebarkan literasi seni dan budaya kepada masyarakat luas, terutama kepada generasi muda,” ujar Aisul.
Sosok Nashar dalam kancah seni rupa Indonesia dinilai istimewa. Berkat keteguhan dan perjuangannya yang gigih, sang maestro mematahkan persepsi kritis yang menuding bahwa karya-karyanya telah melenceng dari teori seni di Tanah Air.
Nashar pernah mendapatkan reputasi sebagai seniman yang kontroversial di Indonesia. Karya-karya eksentriknya yang berjaya pada 1960—1970 sering menuai kritik kalangan seniman senior seperti Bapak Seni Rupa modern Indonesia Selo Sudjojono, yang mencapnya sebagai pelukis yang tidak berbakat.
Lahir di Pariaman, Sumatra Barat, Nashar dikenal dengan tafsir puitisnya di atas kanvas, tentang lanskap Indonesia dan perjuangan manusia.
Dia tumbuh di tengah masa sulit dan ketika penjajah Jepang masuk ke Ranah Minang. Nashar bersama keluarganya kemudian memutuskan untuk merantau ke Jakarta.
Pada masa mudanya, sang seniman menemukan ‘zona aman’ atau sanctuary pada saat melukis. Beranjak dewasa, dia memutuskan untuk melakukan hal yang berlawanan dengan ayahnya yang seorang pedagang.
Sebagai seniman, Nashar memiliki peran yang tidak hanya penting tetapi juga berpengaruh besar pada ranah seni di Tanah Air.
Beberapa catatan dan penuturannya mengungkapkan bahwa dirinya selalu berpesan kepada murid-muridnya untuk bebas dan mandiri dalam mencari cara berekspresi.
Pada zaman revolusi, Nashar pernah bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) dan mengikuti lembaga tersebut, pindah ke Madiun, Solo dan Yogyakarta.
Sejarawan University of California Jeffrey Hadler beberapa tahun lalu mengungkapkan bahwa di sana Nashar berguru langsung kepada Affandi. Aliran karya lukisan Nashar pun kemudian banyak dipengaruhi oleh karya-karya Rusli, Zaini dan Popo Iskandar.
Nashar kemudian mempelajari subjek karya para guru dan menangkap esensinya melalui lukisan abstrak yang dipimpin oleh intuisi kedalaman pikirannya.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.